WELCOME TO MY LIFE

TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA,SEMOGA ANDA TEMUKAN YANG ANDA CARI,SAYA TIDAK BERMAKSUD MENGGURUI, MENUNTUN ATAU MERUBAH.. HNY INGIN BERBAGI, MENGGORES WARNA, MENGHAPUS LUKA..
Tampilkan postingan dengan label MAUPONGGO. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label MAUPONGGO. Tampilkan semua postingan

14 Agu 2015

KEWAJIBAN DALAM BUDAYA MAUPONGGO (TI'I PATI)

Berita kematian, pemberitahuan tentang kegiatan adat seperti pernikahan, bangun rumah, pesta-pesta baptis dan terutama komuni pertama, semuanya bukan sekedar berita dan informasi biasa. Tetapi semua informasi yang berujung pada kewajiban. Hidup di kampung bukan menjadi urusan sendiri. Hidup itu sosial. Terikat dengan yang lain. Selalu bersama dengan orang lain. Pada saat seorang bermasalah, jangan takut, karena ada orang lain ikut merasakan dan selalu siap ringan tangan membantu. Demikian juga sebaliknya seorang berkewajiban menolong yang lain. Ada hubungan timbal balik.... Kata ti’i pati berarti memberi dan berbagi. Ti’i pati yang berkaitan dengan adat adalah wajib. Itu adalah tidak saja menjadi ungkapan kasih tetapi juga merupakan bentuk demonstrasi harga diri. Ti’i pati dalam adat mauponggo tidak akan pernah berhenti, terus berjalan selama hidup dalam masyarakat. Budaya ti’i pati yang berkaitan dengan adat suatu yang abadi, dan tidak berubah. Hukumnya wajib. Tidak pernah ada toleransi pada kondisi miskin atau kaya. Karena semua manusia sama di depan hukum adat. Hukum adat sebagai tradisi selalu berkaitan dengan ti’i pati. Hal ini merupakan kewajiban yang tidak bisa ditolak. Tradisi adat adalah warisan leluhur. Melanggar adat berarti mencederai hukum sama artinya dengan mengucilkan diri dari pergaulan masyarakat adat. Sebagai perbuatan memberi dan berbagi, orang mauponggo tahu apa yang terbaik dilakukan demi harga diri. cengkeh, kakao, , dan kopra hanya cerita. uang hasil panen hanya numpang lewat. Semua hasil jerih payah habis untuk melunaskan utang adat...

4 Okt 2014

Tentang MosaLaki (Nagekeo)


Mosalaki (mosadaki) itu adalah gelar yang diberikan pada seorang lelaki di Nagekeo, tapi tidak semua orang laki-laki disebut mosadaki. Mosadaki (mosalaki)  berasal dari kata mosa (jantan dan besar) dan daki atau laki (jenis kelamin laki). Seorang mosadaki sesungguh memiliki sifat kejantanan itu. Seorang mosadaki memiliki keberanian dan kesatriaan.  Dia harus mampu membela dan melindungi. Karena itu dalam berbagai urusan adat terutama pada saat menghadapi masalah, seorang mosadaki berada di depan dan menjadi seorang organisator dan pemimpin kelompoknya.

Mosa tana laki watu
Mosalaki selalu dikaitkan dengan tanah dan kepemilikannya. Ketokohan mosalaki karena statusnya sebagai pemilik tanah atau tuan tanah. Karena itu mosalaki disebut mosa tana laki watu.  Sebagai pemilik maka mosalaki memiliki otoritas dalam urusan adat dan urusan tanah.Dilihat dari sisi ini maka mosalaki sesungguhnya dilahirkan. Seorang menjadi mosalaki karena berasal dari turunan mosalaki, seorang pemilik tanah.  Dia adalah putera seorang mosalaki. Mosalaki adalah putera pilihan, bukan hanya karena seorang anak mosalaki.  Putera seorang tuan tanah atau mosalaki belum tentu menyandang panggilan mosalaki. Karena seorang mosalaki memiliki kriteria atau atribut lebih.  Memiliki jiwa yang satria dan jiwa kepemimpinan (waka nga).

Ine tana ame watu:
Mosalaki  sebagai pemilik utama tanah disebut juga dengan ine tana ame watu. Mosalaki kelas ini adalah putera turunan langsung dari pemilik sebuah wilayah atau yang disebut pula sebagai ta ngala ngga’e (pemilik) atau ta ngala tanah watu (pemilik tanah).

Ine ku ame lema:
Dalam skala yang lebih kecil ada penguasa sebahagian tanah garapan (ku lema).  Pada masa lalu tanah-tanah masih kosong. Siapa saja dalam suku yang mengolah tanah diakui sebagai pemilik lahan (ku lema).  Pemilik lahan dalam skala kecil disebut ine ku ame lema. Karena meraka masih dalam garis keturunan pemilik tanah maka kewenangan dan kepemilikannya diakui sebgai tuan tanah dalam skala yang terbatas. Mereka tetap tunduk pada Ine tana ame watu.  Pengakuan ku lema (lahan olahan) berdasarkan pada kondisi lahan yang sudah penuh dengan tanaman ekonomis berupa tanaman kelapa  (nio) dan pinang (eu). Orang Keo selalu menanam pohon-pohon tanaman jangka panjang bernilai ekonomis ini pada pinggir-pinggir batas tanah olahan.  Pengakuan kepemilikan atas lahan olahan berdasarkan kondisi nio tiko eu tako (daun pohon kelapa dan pinang saling bersambungan di sekitar lahan).

Tuka babho
Seorang mosalaki harus mampu memimpin dan mempengaruhi orang lain. Seorang mosalaki harus memiliki kemampuan menjadi tuka mbabho (juru runding). Sebagai juru runding (tuka mbabho) seorang mosalaki harus memiliki kemampuan untuk mendengar, menganalisa serta mencari kesimpulan untuk mencari solusi.

Tuka mere kambu kapa
Karena itu seorang mosalaki harus memiliki tuka mere kabu kapa. Tuka mere kabu kapa adalah sebuah istilah yang menjelaskan sifat seorang mosadaki harus sabar dan memiliki daya tahan. Dia harus memiliki tuka mere (perut besar) untuk mampu menerima masukan  dan kambu kapa (lilitan lemak tebal) agar siap menampung dan menahan segala emosi. Semua ucapan dan tindakan seorang mosadaki harus memiliki dasar yang jelas dan melewati pertimbangan yang matang.

Mosa tuka tiba laki mata laci
Seorang mosadaki adalah seorang juru runding yang bijaksana dan adil. Seorang mosalaki adalah mosa tuka timba daki mata daci. Dia harus mampu menimbang secara benar dan seimbang (adil) seperti pertemuan dua mata timbangan. Setiap keputusan mosadaki harus tidak memihak. Harus memperlihatkan dan mendahulukan keadilan.

Mosalaki pongga rore mosalaki
Seorang mosalaki bukan sekedar pemimpin, tetapi juga seorang yang punya semangat berkorban. Masyarakat tidak menghargai mosa tungga ko’o punu (mosadaki yang hanya tahu bicara), karena mosadaki harus mosa ne’e odo tau (mosa dalam tindakan).  Masyarakat menilai mosadaki yang hanya tahu bicara tetapi tidak pernah berbuat sebagai mosa ka daki pesa (mosadaki yang hanya tahu makan atau menikmati).

Mosa nua laki ola
Mosalaki sebagai tan ngala mbu’u atau ta ngala tana watu (tuan tanah) dia menjadi mosa nua laki ola (pemuka dalam kampung). Mosa nua laki oda bukan tunggal tetapi semua orang-orang terpandang karena keturunan dan kepemilikan atas lahan serta pengaruh karena charisma-kharsima istimewa. Mereka ini yang memiliki hak suara dan pengambil keputusan dalam urusan adat serta tanah.

Mosa ulu mere eko lewa

(adapun kesalahan penulisan dalam bahasa daerah (bahasa adat) mohon dikoreksi bersama.. segala tambahan mengenai adat istiadat Negekeo sangat diharga dan diterima... terima kasai)

molo............

Kain Tenun Nagekeo (Luka Bay)


Di Nagekeo berkembang dua macam proses tenun. Proses pete (ikat) dan proses wo’i (sulaman). Pete dan wo’i adalah cara membuat pola pada bahan tenun. Luka bay (ragi bay) sebutan kain adat dimaupongo..
Ketika belum ada zat pewarna kimia, orang kampung menggunakan tanam perdu yang disebut tarum (talu dalam bahasa Mau) atau taru dalam bahasa Ende. Tarum menghasilkan warna biru. Caranya mudah saja. Daun-daun tarum (talu/taru) bersama tangkai-tangkai kecil direndam beberapa hari dalam wadah.Wadah terbuat dari tanah liat berbentuk periuk tetapi dengan bukaan yang lebar. Karena itu bila tidak ada, orang menggunakan periuk tanah yang di pecah bagian atas. Bukaannya harus lebar untuk leluasa memasukkan material yang yang akan diwarnai. Benang yang telah diikat sesuai dengan pola yang dinginkan kemudian direndam minimal 2 hari dalam periuk berisis tarum.



Untuk memperoduksi larutan pewarna  butuh waktu  beberapa hari bahkan sampai satu minggu.  Daun-daun tarum direndam dalam air  kemudian membusuk dan mengeluarkan warna yang gelap (indigo blue).  Warna hitam kebiruan, berwana biru tua (deep blue) akan menyerap pada benang-benang ini.  Setelah benang diangkat dan dijemur sampai kering kemudian ikatan-ikatan pola dilepaskan. Maka akan kelihatan warna putih pada bekas ikatan. Bila ingin diberi warna kuning maka benang sekali lagi dicelup pada warna yang dinginkan.


Saya sendiri belum pernah menyaksikan bagaimana warna hitam dihasilkan oleh para penenun tradisional di wilayah Boawae. Di wilayah ini dikenal dengan hoba nage, atau orang pantai menyebutnya dawo pote. Ciri bahwa kain itu masih baru dengan adanya ujung benang lusi dibarkan terurai dan di pilin. Di pesisir selatan di wilayah Maubare, Daja, Mauromba dan Maundai semua mencelup benang dalam larutan tarum.  Bau rendaman tarum mengeluarkan bau basi, yang lumayan bisa bikin mabuk bagi yang tidak biasa.  Kalau tarum untuk warna hitam atau biru, maka warna terang yaitu warna kuning diperoleh dari kembo atau kaju kune. Kembo atau kaju kune adalah pohon mengkudu.  Dan yang digunakan adalah akar pohonnya dan terkadang dahan atau batang pohonnya. Kayu-kayunya di dibelah dan dipotong kecil kemudian direbus dan  direndam bersama benang.Hasilnya   warna kuning kemerahan atau jingga.


Keterbatasan mendapatkan zat warna ini yang membuat semua hasil tenun Nagekeo  selalu berwarna hitam dan kuning saja.  Itulah zat warna yang ada dan  biasa dipakai. Karena berlangsung puluhan tahun, maka dianggap sebagai ciri khas tradisi seni tenun.Tenun ikat pantai selatan disebut dawo ende. Ini merujuk asal dari kebiasaan ikat dan pewarnaan benang serta tenun. Ini tenun khas berasal dari Ende. Dan tenun ikat untuk dawo ende ini hanya ibu-ibu yang beragama Islam. Tenun woi tradisi asli orang Nagekeo.
Kami mengadakan pendekatan dengan penenun di Maundai untuk coba mengembangkan tenun ikat. “Repot sekali” demikian katanya. Proses tenun ikat memang jauh lebih rumit. Karena benang lusi harus dibuat pola dengan mengikat kemudian dicelup dalam larutan pewarna.   Tetapi tenun ikat bisa lebih luwes dalam mengaplikasi pola. Karena itu tidak heran   bila di Daja, Mauromba dan Maundai tidak pernah lagi tercium aroma  endapan  tarum. Dan tentu tidak ada lagi orang yang menenun dawo ende. Semuanya didatangkan dari luar Nagekeo. Tidak ada yang melihat ini sebagai peluang usaha. Ibu-ibu di pantai selatan lebih banyak mengenakan dawo ende, tetapi semuanya berasal dari kabupaten Ende. Pemerintah daerah harus punya kiat sendiri untuk menghidupkan kembali kerajinan tenun ikat (pete senda) di wilayah kabupaten Nagekeo, khususnya di wilayah Keo Tengah (Daja, Mauromba dan Maundai serta Maunori) dan  Nagaroro ( Maunura, Maubare, Tonggo, Pombo). Ini juga salah satu cara mengurangi ketergantungan suplai  kain sarung dawo ende dari Ende dan Pulo.

22 Okt 2012

BAKO KOLI BUDAYA MAUPONGGO



Kobe modhe…

Seperti malam sebelumnya malam ini, kami berkumpul di dihalaman (tempat nongkrong). Lima lelaki: tiga sudah beristri, dua masih bujang (termasuk saya). Kami berbincang ditemani kepulan asap rokok dan hangatnya kopi…. Berbicara tentang desa/kota tempat dari kami berasal..

secara tak sengaja, saya jadi ingat kampung. Tepatnya budaya merokok di kampung, umumnya Flores dan pulau-pulau sekitarnya… tp saya hny akan menuliskan tentang budaya merokok di mauponggo bukan di tempat-tempat lain di tanah air, orang mauponggo, khususnya laki-laki, memang sangat doyan merokok. Bahkan, merokok,moke dan kopi sudah jadi salah satu budaya di mauponggo.

Ketika ada bapak-bapak main ke rumah entah ada keperluan atau sekedar bersilaturahmi, maka orang-orang di kampung saya di boloroga (mauponggo)'hampir diwajibkan' untuk menyugguhkan rokok dan kopi. Ungkapan dalam bahasa setempat “musu bako” (isap rokok),inu kopi (minum kopi) dan inu tua (minum moke)... 
ada yg berbeda dari rokok kretek di kampong yg biasa di minati orang tau (ame ka’e)..,

apa bedanya??

mereka melinting rokoknya sendiri.. ya Yang dilinting bukan daun jagung, tapi daun lontar(koli) alias siwalan. Seperti diketahui, lontar merupakan tanaman khas di daerah kering macam NTT yang juga menjadi ciri khas bumi flobamora.. 

Pohon lontar memang serbaguna. Bisa untuk bahan bangunan karena sangat kuat. Daunnya untuk bikin timba. Niranya untuk gula (didaerah timor) dan minuman tradisional bernama tuak dan arak. Karena punya kultur lontar, jangan heran bila orang-orang di kawasan Flores sangat doyan minum tuak (moke), yang kemudian berlanjut dengan arak atau miras-miras buatan pabrik macam bir, wiski, dan sebangsanya.

Daun lontar dipakai untuk atap rumah. Bisa juga untuk tikar. Bisa untuk bakul dan sejenisnya. Dan, yang paling penting bagi orang tua, daun lontar jadi klobot untuk melinting tembakau. Budaya merokok pakai daun koli (lontar) ini sudah berlangsung dari generasi ke generasi. 

Rokok buatan sendiri.. Tembakaunya pun tak usah beli karena bisa dipetik dari pekarangan atau kebun sendiri. Pada tahun 1980-an dan 1990-an kita bisa dengan mudah melihat bapak-bapak dan kakek-kakek membawa kotak khusus berisi tembakau plus daun koli hingga saat ini wlu sudah jarang. Bagian dalam daun siwalan alias lontar alias koli itu digaruk sehingga gampang digulung. Kalau sudah merokok, suasana sangat gayeng. Orang bisa bicara panjang lebar, bahkan sampai lupa waktu.

Begitu kuatnya budaya merokok, orang-orang tua di kampung kurang percaya dengan peringatan pemerintah bahwa 'merokok itu merugikan kesehatan'. Tapi kebanyakan tidak percaya bahwa rokok, atau tepatnya tembakau, itu mengandung begitu banyak bahan kimia berbahaya.

Mengapa kurang yakin? Mereka belum melihat bukti orang-orang yang merokok itu cepat mati atau terkena penyakit-penyakit yang disebutkan dokter. Apalagi usia kakek-kakek yang 'melestarikan' budaya merokok itu selama ini panjang-panjang. hehehe.

 Tulisan 'peringatan pemerintah' di bungkus rokok pun diangap angin lalu.
seiring berkembangnya teknologi dan informasi budaya musu bako koli alias ngelinting rokok ini mulai sedikit bergeser. Muncul kebiasaan baru, yang dianggap lebih maju, yakni mengisap rokok lawas merek DJI TOE (ji tu). Rokok putih ini rasanya kurang populer di Jawa, tapi sangat digilai di mauponggo. Warung-warung (kios) kecil yang jualan “dji toe) biasanya laris manis. 


Selain DJI TOE, rokok kretek merek Bentoel sangat digandrungi generasi muda yang mulai makan sekolahan dan terpengaruh gaya hidup perkotaan. Beda dengan di daerah lain yang saya lihat dan dengar lebih suka rokok Gudang Garam atau Djarum. 


Setelah tahun ke tahun, kakek-kakek penggemar rokok koli ala ma”u dari daun lontar itu satu per satu meninggalkan dunia fana ini. Bukan karena kanker atau penyakit-penyakit berbahaya, tapi karena memang sudah terlalu tua. Budaya merokok masih dilestarikan di kampung, tapi kebanyakan bukan lagi rokok koli, melainkan rokok-rokok buatan pabrik. 


sekarang penggemar rokok koli sudah berkurang,mulai ada peralihan ke rokok-rokok pabrikanyg terbilangi cukup mahal. Harus punya uang baru bisa membeli Bentoel atau Gudang Garam. Beda dengan rokok koli yang memang gratisan…

29 Sep 2012

KEWAJIBAN DALAM ADAT BUDAYA MAUPONGGO


Eko wawi, wati gata, tutu botu penu bora adalah takaran sumbangan adat dan juga merupakan pengakuan atas status dalam keluarga.



Kebersamaan bukan sekedar wacana. Orang desa terutama di perkampungan Nagekeo, kebersamaan bisa dilihat dari bentuk kampung. Orang Nagekeo membedakan tempat tinggal berdasarkan lokasi. Sebesar apa pun bangunan rumah tinggal kalau berada di kebun maka disebut keka atau pondok. dan Sekecil apa pun ukuran bangunannya, selama ada di kampung orang sebut sa’o atau rumah.  Karena itu kampung selalu penuh rumah-rumah.
Hidup bersama selalu mengandung tugas dan kewajiban bersama.  Dalam kegiatan adat harga diri seorang ditentukan melalui partisipasinya dalam kegiatan bersama. Seorang yang tidak dilibatkan akan beranggapan bahwa dia tidak dihargai. Karena itu warga desa selalu bangga ikut terlibat dalam kegiatan adat.



Besar kecil sumbangan dalam kegiatan adat sebenarnya sudah ditentukan. Berbagai ukuran sumbangan partisipasi berdasarkan garis keturunan.

Jenis sumbangan  berupa:

1. Ha eko wawi:
Kewajiban berupa seekor babi utuh dikenakan pada anak-anak dalam keluarga. Kalau ada yang bilang keluaga besar kami mempunyai kewajiban 4 ekor babi (eko wutu wawi)  berarti ada empat anak sekandung.

2. Wati Gata :
Wati adalah sebuah bakul kecil bertutup seperti kotak besekan. Gata adalah sebuah bakul terbuka yang agak besar.  Tambahan dalam ukuran wati gati dikenakan pada ane ana (keponakan) dan ana ghawe (anak angkat). Mereka semua diakui haknya seperti anak dalam keluarga besar.

3. Tutu botu Penu bora
Tutu botu penu bora, arti kewajiban tidak terikat sebagai tambahan atau pelengkap saja. Kewajiban ini biasa dipenuhi oleh para pendatang yang diterima sebagai bagian dari keluarga besar.
Bagi masyarakat Nagekeo melibatkan diri tidak sekedar hadir tetapi juga ikut memberi. Seorang bernilai dilihat dari apa yang dia berikan.

11 Sep 2012

TUJUAN PEMBUATAN PEO


Peo adalah sebatang kayu yang bercabang dua berbentuk huruf “Y”, yang dibuat dari satu jenis pohon yang dalam bahasa setempat dinamakan “Embu” yang sudah sejak masa para leluhur diyakini sebagai pemberi keteduhan, kenyamanan, dan kedamaian bagi orang yang bernaung di bawahnya. Peo tersebut ditanam di tengah kampung. Pada batang Peo, ada banyak ukiran atau aksesoris yang dibuat, sehingga menambah keindahan dan keanggunannya.

Upacara pembuatan Peo ini dibuat hanya satu kali. Tetapi apabila Peo lama telah rusak dan hampir tumbang, maka diganti dengan yang baru dengan segala tata upacara seperti yang telah diwariskan oleh para leluhur. Sekalipun diganti dengan yang baru, makna dan tujuannya tetap. Sehingga upacara pergantian ini dibuat hanya berupa pembaharuan atau pemugaran. Jadi upacara ini tidak dibuat secara terus-menerus setiap terjadi pertikaian antara kelompok atau suku. Peo dibuat sekali untuk selamanya. Hanya sering dipugar atau diganti materinya, apabila sudah rusak. Sekalipun demikian, sedikit pun tidak mengurangi makna dari upacara pembuatan Peo itu sendiri.
Berdasarkan pengertian di atas, maka upacara pembauatan Peo dapat diartikan sebagai suatu upacara yang dilestarikan oleh masyarakat mauponggo khususnya dan masyarakat Nagekeo umumnya secara turun- temurun, atau serangkaian upacara untuk mempersatukan orang-orang dan suku-suku yang tercerai- berai akibat perang saudara.
Upacara pembuatan Peo ini tidak dibuat oleh satu suku saja, tetapi secara bersama-sama oleh beberapa suku. Dengan itu Peo tidak saja menjadi milik satu suku saja, tetapi merupakan milik bersama beberapa suku. Dan dalam menjaga dan melestarikannya pun menjadi tanggung jawab semua suku yang mengerjakannya dan yang bernaung di bawahnya.
Dengan diadakannya upacara ini, semua anggota suku pemilik Peo tersebut berkumpul. Rasa kebersamaan dan kekeluargaan sungguh-sungguh terbina dan terwujud pada saat itu. Semua suku tidak hanya berkumpul untuk menikmati kebersamaan, tetapi secara tidak langsung diarahkan untuk menghanyati makna upacara tersebut.  Dan semua anggota suku yang hadir, ikut ambil bagian dalam usaha menyelesaikan dan menyukseskan upacara tersebut. Semua anggota suku tidak saja sekedar menghadiri upacara, tapi ikut berpartisipasi dalam segala hal, baik berupa tenaga, materi, pikiran dan lain sebagainya, sehingga upacara tersebut dapat berjalan lancar sesuai yang telah direncanakan.
Upacara pembuatan Peo ini dilakukan oleh para leluhur dengan menelan biaya yang sangat besar. Puluhan dan bahkan ratusan ekor hewan disembelih sebagai korban, terutama kerbau dan babi, ribuan kilogram beras dan bahan makanan lainnya selama proses pembuatan Peo, hingga berakhirnya upacara tersebut. Tetapi kemudian upacara ini dibuat dengan anggaran yang tidak seperti dulu lagi. Dan akhir-akhir ini, biasanya satu dua ekor kerbau dengan beberapa ekor babi yang dijadikan korban.

14 Agu 2012

ARTI TANAH BAGI ORANG MAUPONGGO


artikel ini di di mulai dari sebuah berita yang saya baca baru-beru ini...
kenapa tanah begitu penting sampai membuat sodara menjadi musuh???

TRIBUNNEWS.COM, MBAY--Matheus Lali Deu (65), warga Ola Nage, Kelurahan Natanage Timur tewas ditebas, Daniel Siga (45), anggota Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kabupaten Nagekeo, Selasa (7/8/2012) sekira pukul 11.45 Wita. Penyebabnya, sengketa tanah warisan. Tersangka marah pada korban yang menjual tanah warisan keluarga dan tidak mengakui keluarganya sebagai bagian dari pewaris tanah warisan keluarga.

baca berita lengkapnya klik disini


Tanah atau tanah air atau tana (bahasa mauponggo) adalah tempat atau bagian dari bumi dimana manusia hidup…Untuk sementara ini biar saya sepakat bahwa manusia hidup di atas tanah. Tanah sebagai lokasi atau bagian dari bumi yang luas...

Tanah dalam bahasa daerah saya selalu dikaitkan dengan batu. Makanya kalau orang Indonesia umumnya menyebut tanah air, maka orang maupongoo menyebutnya tanah batu (tana watu) sekarang kita beda pendapat...

Orang mauponggo sangat menghormati atau menghargai tanah. Ketika seorang bayi untuk pertama kali turun ke tanah (dodho tana) dibuat pesta khusus. Orang bisa bersumpah sambil memegang tanah. Dalam berkat adat tanah diikut sertakan. Orang terkadang sangat takut pada malam hari karena ada orang yang menyirami tanah ke rumah orang lain. Orang bisa terkutuk apabila merampas hak tanah orang lain…

Tanah sama dengan rahim ibu. Orang mauponggo menyebut orang meninggal sebagai kembali memasuki rahim ibu (tama tuka ine). Di sana ada kedamaian sebagai seorang bayi ketika masih dalam kandungan ibu menikmati kecukupan dan perlindungan yang paling aman. Melalui pernyataan ini orang mauponggo percaya bahwa masih ada kehidupan sesudah meninggal…

Mereka percaya bahwa orang meninggal berada dalam dunia terang (mera papa ndala) dan kematian tidak menjadi akhir hidup manusia. Kematian membuat seorang menjadi lebih dekat dengan manusia yang hidup dimanapun berada. Dunia roh adalah alam bahagia, alam berkelimpahan, tempat Tuhan (dae koo Nggae). Masyarakat Ma”u menyebut Allah sebagai Dewa atau Ndewa juga menyebutnya Pemilik (Nggae). Makanya seorang yang sudah meninggal juga disebut kembali ke rahim ibu (tama tuka ine) juga menyebutnya kembali ke Pemiliknya ( walo ena Nggae). 

4 Agu 2012

DENDA DAN SANKSI POKE WAWI ADAT BUDAYA MAUPONGGO


Ada dua istilah yang dikenal dalam budaya Nage keo yang berkaitan dengan membunuh babi.
·         Keda (membunuh dengan membelah tengah kepala babi)
·         poke (melempar dengan tombak atau lembing).

Keda wawi adalah membunuh babi secara umum.
Bagi orang luar Flores, cara ini terlalu sadis. Babi dalam keadaan kaki-kaki terikat lalu dihujamkan ujung parang ketengah kepala berkali-kali.  Darah dan otaknya akan segera keluar dan ditampung. Sampai sekarang masih terus di lakukan..
Poke wawi adalah  membunuh babi dengan cara melemparkan lembing  atau tombak ke badan babi. Lemparan tombak dan lembing hanya sekedar melumpuhkan dan kemudian tetap melalui proses keda wawi (membelah kepala). Istilah poke wawi banyak digunakan dalam sanksi adat lingkungan, kadang kala juga menggunakan ayam..
Seperti yang terjadi kemaren di kampong kami (boloroga,mauponggo) seorang ibu yang suaminya menderita penyakit, mengambil air laut dari mauponggo (pantai) dan membawanya kekampung kami conon katanya dapat mengobati penyakit suaminya.. entah ibu itu tidak meminta ijin kepada orang sekitar pantai, atau adat orng sekitar pantai itu yang melarang orang lain memindahkan air laut ke tempat lain… tiba tiba terjadi angin keras hujan lebat di kampong kami… setelah di ketahui oleh warga kampong bahwa ibu tersebut mengambil air laut dari pantai mauponggo, maka segerahlah ibu tersebut diberi saksi adat, yakni harus memotong ayam dan darahnya di tumpahkan di pantai tempat ia mengambil air laut itu. Dan anehnya hujan angin berhenti total,matahari kembali tersenyum cerah.. aneh memang…
Masyarakat adat memiliki larangan-larangan tertentu, khusus berkaitan dengan menjaga lingkungan. Yang melanggar akan dikenakan denda adat. Pelanggaran adat yang berkaitan dengan lingkungan adalah mengambil atau mencuri,, Orang mauponggo memiliki kebiasaan menghormati alam dan menjaga untuk pemulihan selama masa tertentu. Sanksinya selalu berupa babi dengan ukuran yang besar. Bila saat pengenaan sanksi tiba, maka yang bersalah harus mempunyai babi. Bila tidak ada, pemuka adat menentukan babi yang ada di kandang milik orang lain. Terkadang babi milik orang lain yang sedang berkeliaran tanpa dikandang. Masa lalu banyak orang membiarkan babi-babi hidup bebas. Pada waktu memberi makan, pemilik akan memanggilnya. Yang aneh bahwa setiap babi mengenal suara pemiliknya, walau bunyi yang keluar sama yaitu mae…maeee.
Pada masa kini semua hewan sudah dikandangkan. Menangkap babi cukup dengan mendatangi kandang dan mengikat babi. Tetapi pengkapan dan penyembelihan babi untuk sanksi adat disebut  poke wawi. Dalam suatu pelanggaran adat yang luar biasa dikenakan sanksi poke kaba(membunuh kerbau). Tetapi poke kamba berkaitan dengan pelanggaran susila…
Ada pun pembunuhan masal kerbau,, tapi tidak dilakukan dengan cara poke kaba… tp dengan cara memotong bagian mana saja kecuali ekor,, bila terkena ekor maka akan di kenakan denda adat (denda berbau kerbau besar) ini biasanya dilakukan pada pembuatan peo (lambang pemersatu orang mauponggo)… saya akan tulis di artikel postingan selanjudnyaaaa….

25 Jul 2012

MELIHAT PERUNTUNGAN DARI HATI BABI ADAT MAUPONGGO


Ketika dikampung, keluarga saya yang baru saja menikah dan pindah ke rumah mertua datang lagi ke rumah orang tuanya, yaitu rumah dikampung kami (boloroga).. Pada saat pengatin wanita telah menikah dan diselesaikan segala urusan mas kawin, keluarga pengantin laki2 akan membawa serta pengantin puteri. Pihak keluarga wanita akan mengiringi kepergiannya dengan membawa babi dan sarung serta beberapa barang yang dianggap perlu dibawa.  Pada saat rombongan tiba di keluarga pengatin laki2, akan diadakan jamuan khusus. Biasanya semua tamu menginap semalam. Ketika akan kembali semua penghantar diberi penghargaan. Pemberian berupa  emas, hewan atau uang diberikan kepada setiap orang. Uang biasa diberikan kepada anak-anak.
Pada acara-acara adat seperti membangun rumah (wake sa’o), upacara anak bayi turun tanah (dhodho ana), biasa ada babi disembelih untuk perjamuan. Hati babi diambil secara hati-hati agar tidak cedera. Dan ada orang yang membaca dari urat-urat di hati babi tersebut, Nasib baik dan buruk dapat dilihat dari guratan hati. Tidak semua orang memahami bahasa hati apalagi bahasa hati babi... aneh memang sedikit mistis,, tidak masuk akal karena tidak dapat dibuktikan secara ilmiah dan bisa saja disebut tahayul untuk sebagian orang tertentu tapi tidak untuk orang mauponggo,,,

"MOKE CHINO" MINUMAN KHAS MAUPONGGO




"MOKE" (flores), atau peci (sumba), sopi (kupang dan sekitarnya) entahlah untuk wilayah lain..
sy akan bahas tentang "moke"..



Moke adalah minuman khas orang mauponggo. Ada moke putih dan hitam. Moke putih adalah nira hasil sadapan dari pohon lontar atau pohon enau... Moke putih akan manis rasanya bila wadah tampungan bersih. Biasanya bambu berukuran seruas di cuci bersih dan dikeringkan kemudian digantungkan pada ujung mayang yang telah di jepit atau di pukul-pukul kemudian dipotong ujungnya. Akan kelihatan ada cairan bening menetes dari ujung mayang. Itulah moke putih. Moke putih yang manis dapat dimasak dan dijadikan gula merah diwilayah tertentu dikupang. Sedangkan moke putih yang diminum sebagai teman makan adalah moke yang ditampung dengan wadah bambu yang tidak bersih sehingga terjadi peragian. Dan rasa minuman agak pahit. Moke putih sejenis ini ada yang langsung diminum, tetapi lebih banyak digunakan untuk dimasak atau disuling dan menghasilkan moke hitam atau tuak atau arak atau sopi.


Moke hitam sesungguhnya tidak hitam. Warnanya seperti air putih dan agak kuning. Ini adalah hasil sulingan dari moke putih, sulingan bisa si suling lg untuk menghasilkan moke yg lebuh keras (arak 1). Moke putih disuling di Kuwu tua (saung penyulingan tuak). Orang mauponggo selalu menikmati moke bila ada pesta. Tidak ada pesta tanpa moke (tidak ada moke tdak rame). moke sudah menyatu dengan pesta (moke dulu baru berani). Makan daging tanpa moke terasa hambar dan kekurangan (apapun makanannya moke minumannya). moke membuat rasa komplit.

tks.....

19 Jul 2012

MAKIAN TANDA PERSAUDARAAN (KA'E ARI) dalam BUDAYA ADAT MAUPONGGO


DIkupang sekarang pkul 22.00 WIB artinya di Flores jg jam menunjukan posisi yg sama pukul 22.00 karena tdk ada perbedan waktu.. sy termasuk orng yg kecanduan internet,, terasa ada yg kurang bila sehari saja tidak OL (exis,narsiz dan palah sebutan2 gaul jaman sekarang) dan yg nama OL tdk terlepas dr yg namanya facebook.com..

sy jg sering menghabiskan banyak waktu bersama simuka buku ini.. banyak hal mulai dr berlangganan artikel sampe bertemu teman lama,, yg kita hampir lupa (tks facebook, tks mark,,) di facebook sy bnyak melakukan aktifitas maya, nulis status,berbagi artikel, dan banyak lg.. barbicara soal nulis status..saya pernah menuliskan sebuah status dan tiba-tiba munculah komentar berbau porno dan sy hny menanggapi dng tersenyum..

Orang yg berkomentar itu langsung mengeluarkan kata-kata miring menyangkut anggota tubuh terlarang. Dan saya secara bergurau mengatakan “kurang ajar” tidak menghormati orang lebih tua dan dituakan sebagai om. Dan dia semakin menyerempet bagian sensitif tubuhku. .  Itu tanda bahwa hubungan kami adik kakak dalam suku..

“Kau mere ko. Mai ngo'o ko kau a ndeka”. Lebih parah lagi.
Dan demikian juga di kampungku.
Ada orang yang lebih tua tiba-tiba berusaha menyentuh bagian terlarang kita. Jangan kaget walaupun si gatal tangan itu berusia lebih tua, walaupun tdk secara langsung dia hanya ingin katakan jangan panggil aku bapa/om, aku melakukan ini karena kita bersaudara (kau ne nga'o ka'e ari)..

sy sedikit terganggu krn ini berlaku untuk pria dan wanita,, bukankan lebih sopan antara pria dng pria.. dan wanita dng wanita saja... tp apalah daya...ini sudah tradisi.. peninggalan leluhur yg harus dijaga..

molo....

PANGGILAN TAMO BUDAYA MAUPONGGO


Tamo adalah kata yang berarti sama namanya. Bila seorang bernama DUS dan ada lagi teman sejawat bernama DUS maka mereka berdua akan saling menyebut tamo. Yang membedakan nama Dus A dan Dus B adalah nama dibelakangnya.  Setiap nama panggilan seorang akan dikaitkan dengan nama ibunya.  Dus A beribu Sina maka disebut Dus Sina dan Dus B karena ibunya Pasu maka dipanggil Dus Pasu.

Nama-nama orang Nagekeo merupakan wakil  atau representasi dari nama kerabat yang telah meninggal dunia. Dus Sina akan terus dihidupkan walau sudah meninggal dunia. Putera puterinya atau keponakan atau kerabat dekatnya ingin mempertahankan kenangan akan nama itu. Mereka menamai anak mereka Dus. Dan yang muncul adalah nama Dus yang dalam kesehariannya akan dikaitkan dengan nama ibunya. Andaikan saja nama generasi baru Dus ini beribu Wea maka akan dipanggil Dus Wea. Inilah cara orang Nagekeo memberi nama. Karena itu tidak heran untuk seorang Dus Sina akan menghadirkan Dus Dus lainnya yang bisa saja banyak. Anak anak dari Dus Sina atau cucu -cucu dari Dus Sina atau bahkan keponakan atau kerabat jauhnya yang menghormati akan memberi nama Dus pada anak mereka. Sebagai pembeda adalah nama ibu di belakangnya. Yang muncul adalah Dus Wea, Dus  B hudhe, Dus Pasu . Kalau saja dua orang Dus dengan nama ibu sama,  maka nama anak dikaitkan dengan nama ibu dan bapak sekaligus. Dengan itu orang segera membedakan Dus yang satu dengan Dus yang lain.
Dalam kaitan dengan memanggil nama sering orang mendengar orang memanggil Bapa atau Ema atau Ebu atau Amekae pada seorang anak kecil. Panggilan-panggilan ini berkaitan dengan posisi yang memanggil terhadap nama yang direpresentasikan. Misalnya kalau anak saya diberi nama Dus  dan Dus adalah kakek saya, maka sebagai bukti hormat saya pada sang kakek, seorang anak bayi atau seorang yang bernama Dus akan saya panggil Ebu. Maka sering di dengar Ame Ebu ( Laki) atau Ine Ebu (prempuan)...

nama ibu = nama lahir

MENINGGAL,METE DAN MAIN KARTU budaya MAUPONGGO


Rasa kangen berkumpul dalam keluarga mungkin berbeda antara orang Luar dan orang Flores.  Orang Flores tidak merasa wajib berkunjung pada saat hari raya. Tetapi orang Flores, khususnya orang Nagekeo akan segera datang berkumpul pada saat kesusahan.  Selain pesta-pesta adat, orang Nagekeo merasa wajib berkunjung bila ada sakit keras dan teristimewa pada saat kematian..

Pada saat orang meninggal akan dibunyikan meriam bambu. Bambu sepanjang dua ruas, pembatas ruang di bersihkan dan pada ujung ruas terbawah diberi lubang. Pada lubang bambu diisi minyak tanah kemudian di nyalakan untuk menghasilkan bunyi. Inilah bunyi yang memberi tanda bahwa ada kematian. Orang  segera tahu ada orang yang meninggal dunia. Dan dengan segera orang berkumpul dan melayat  di rumah duka.
Para pelayat menggunakan kesempatan ini sebagai ajang silaturahim. Dan sambil menunggu saat  pemakaman orang mencari cara mengisi kekosongan waktu. pada masa lalu orang muda akan mengeliling jenazah pada malam hari sambil melakukan permainan “roko nggulu” (sembunyikan cincin). Cincin dipegang oleh seorang dan dia berusaha membagikan kepada teman-temannya dan kelompok lain berusaha menebaknya.  Roko nggulu saat ini tidak lagi populer, karena terkadang diisi dengan doa arwah. Yang masih dilakukan saat ini khusus lelaki adalah bermain kartu dengan sanksi menggantungkan sesuatu di telinga.

beda orang, beda pendapat tentang hal ini..

MEREPOTKAN MNJADI WAJAR (TAMU ADALAH RAJA) BUDAYA MAUPONGGO


Dalam budaya orang mauponggo, menerima tamu betapapun merepotkan dipandang sebagai kehormatan dan menyenangkan. Ini berasal dari akar budaya yang selalu membanggakan “sao mere teda dewa” (rumah besar dan berbalai panjang). Orang ma'uponggo selalu bicara tentang skop yang luas. Ulu mere eko lewa ( Kepala besar dan berekor panjang) menggambarkan pertalian yang sangat besar dan berbatas luas. Pada suatu hajatan, orang Ma'uponggo akan sangat kecewa bila undangan atau tamu sangat sedikit. Pada saat-saat duka, dimana ada kamatian ukuran kekerabatan luas dilihat dari betapa banyaknya orang yang datang turut dalam perkabungan. Orang Ma'uponggo tetap berusaha melayani semua orang yang datang ke tempat perkabungan dengan menyediakan makan minum. Ada kerepotan disana. Tetapi ada dukungan dan kebahagiaan dialami yang berduka atau yang didatangi.

Ada pepatah bilang “tak ada mawar yang tak berduri”. Keindahan ada di tangkai penuh duri. Dalam kesederhanaan mereka selalu berusaha menyajikan sesuatu buat tamu. Kebahagiaan yang menerima tamu adalah bisa menyuguhkan sesatu. Memasak air minumpun pasti menyalakan gas atau kompor. Pasti ada kerugian. Ada kerepotan. Tetapi kerepotan dan kerugian hanyalah bagian dari jalan menuju sukacita. Karena kebahagiaan bertemu sahabat, atau anggota keluarga merupakan sebuah sukacita. Dan setiap sukacita atau kebahagiaan pasti memerlukan pengorbanan. Tidak ada kesenangan tanpa usaha. Tidak kesenangan tanpa korban. Tidak ada mawar tanpa duri.'

UNTUK HAL YG SATU INI ANDA PANTAS BERBANGGA..

molo sama te...


PIE RI'A DALAM ADAT MAUPONGGO


ma'u = mauponggo
pie    = pemali
ri'a   = baik



Pie ri’a terdiri dari dua kata. Pie itu pemali. Ri’a adalah baik, boleh atau diperkenankan. Pemali adalah larangan yang berlaku abadi. Kata pie ri’a berhubungan dengan hukum adat berbentuk larangan dan hal-hal yang diberbolehkan. Pie atau pemali berkaitan dengan banyak  larangan-larangan yang berbau mistik. Berbagai pemali seperti : Jangan bercanda sambil memukul pada senja hari. Jangan berhubungan suami isteri pada malam pembuatan Peo (monumen adat ma'u). Jangan memotong kuku malam hari. Jangan bersin pada upacara adat berjalan. Dilarang meninggalkan rumah sebelum perlatan makan dicuci,di-boloroga (desa sy di ma'u) anak pertama baik pria atau wanita tidak boleh makan daging babi… dan banyak lain lagi. Hidup penuh jangan ini dan jangan itu. Hidup dalam hukum adat hidup penuh pemali. Hidup dalam penuh kendali. Ma’e rewo. Jangan sembarang

Ri’a artinya baik dan boleh dilakukan. Kata ri’a biasa dikenakan pada  jalinan hubungan kekasih. Ada hubungan yang diperkenankan. Dalam hubungan tali perkawinan ma'u dikenal dengan menikahi anak om. Saudara ibu sebagai pemberi anak wanita bagi putera saudarinya. Orang ma'u, semua saudara yang berkaitan dengan bapak semua anak menyapanya bapa. Sementara semua saudara laki yang berkaitan dengan relasi ibu dipanggil paman (mame), yang diberi gelar hormat sebagai emu mame. Pihak emu mame merupakan pihak yang dapat memberi ijin anak wanita dinikahi putera dari anak ine weta (saudari) dari kerabatnya. Hubungan perkawinan incest dan terbalik adalah pemali. Dilarang.
Hubungan sosial tali persaudaraan serumpun dibina dengan secara terus menerus menjalin kasih dan pembentukan keluarga baru selama diperkenanakan adat dengan kata ri’a (baik dan boleh, diperkenankan)...

NAMA BAPTIS ORANG MAUPONGGO


Nama keluarga menentukan asal usul seorang. Nama belakang orang Flores berbeda dan menjadi penunjuk jelas daerah asal penyandang nama tersebut. Sebagaimana nama Rangga di pesisir selatan Nagekeo sebelah timur Wodo Wata sampai Nagaroro, orang sebelah barat Wodo Wata memiliki nama Raga atau Aga.  Atau nama Tolo di sebelah timur Wodo Wata di sebelah barat akan menjadi Toyo. Ada Ame Soo dan Ame Co’o ada Embu dan Ebu, Kedi dan Keli, Dengi dan Lengi , Ndiwa dan Diwa dan banyak nama lain lagi.

Orang Indian  di Amerika memberi nama anak sesuai apa yang pertama kali nampak ketika sang ayah keluar rumah pada saat anak dilahirkan. Ketika ada asap yang kelihatan maka nama anaknya Api Berasap, yang hampir mirip dengan budaya Batak di Indonesia. Sebaliknya orang Jawa nama menjadi begitu panjang semacam kalimat doa dan harapan akan masa depan anaknya.

Bagaimana dengan orang Nagekeo memberi nama pada anak-anak mereka? Nama orang Nagekeo selalu merupakan penghormatan dan kasih akan seorang yang telah meninggal. Kalau saudara ibu ada yang sudah meninggal dan sangat dikenang, maka anaknya akan diberi nama orang yang telah meninggal. Nama adalah ungkapan kasih dan hormat. Contoh seorang anak di ma'u yang lahir diberi nama MI LAKO. Ini memperlihatkan nenek (kakek) dr mi yg namanya Lako telah tiada. Ada keinginan untuk menghidupkan kembali kenangan dan kasih. Maka jadilah nama MI LAKO  untuk sang jabang bayi. Dan nama itu sendiri ternyata diberikan kepadanya ketika masih bayi. klu saya menginginkan nama ayah saya yang saya pakai. Sesungguhnya orang Nagekeo tidak mengenal nama Fam atau keluarga besar. Yang ada hanya nama pribadi  sebagai perwujudan kasih dan kenangan bagi yang telah tiada. Akhir-akhir ini nama orang tua semakin populer ditempatkan di belakang nama baptis sebagai nama kecil

SAJIAN MAKANAN,HUBUNGAN (WETA NAYA) DAN BUDAYA MAUPONGGO

Membunuh babi dan menyiapkan daging untuk makan dalam kebudayaan orang Mauponggo  tidak sembarang dilakukan bagi tamu..

Menyajikan kepala dan hati mengadung dua pengertian. Kepala selalu disajikan sebagai tanda hormat. Kepala dan hati selalu disertai dengan darah  yang telah diolah  menjadi seperti bumbu kecap itu memberikan tanda bahwa  daging yang disajikan adalah dari hewan yang masih hidup. Bukan hewan yang mati atau penyakitan.  Kebiasaan orang Nagekeo menyembeli hewan untuk dijadikan daging yang disajikan bagi tamu selalu dilakukan setelah tamu tiba di rumah.  Tanda hormat dan kerelaan member dari yang terbaik.

Pilihan jenis hewan yang akan disembelih tergantung  hubungan tamu yang datang.  Untuk tamu paling sedikit orang menyembelih  ayam.  Pertalian saudara  ada   naya (saudara laki) dan  weta (saudari) dan  setelah  mereka berkeluarga dan punya anak maka amen ala menjadi ebu mame (om) dan ine weta . Pihak embu mame sebagai penyedia anak laki dan ine weta sebagai penyedia anak perempuan untuk dinikahkan.
Sajian daging babi atau anjing  punya keterkaitan dengan hubungan pertalian keluarga ini. Pemberian babi dan kain adalah kewajiban amen ala kepada ine weta. Dan Kewajiban ini weta memberikan anjing atau kambing  kepada pihak amen ala..

TUA JAJI DALAM ADAT BUDAYA MAUPONGGO


Tua jaji ada kaitan dengan perjanjian (tase dare) atau sumpah adat, yang dilakukan oleh para leluhur dari kedua kampung adat. Isi perjanjian adalah warga kedua kampung harus tidak boleh saling menyakiti (ma’e papa kebha ele weki mae papa nggena). Warga kedua suku adat boleh saling mengambil hasil kebun sebanyak kebutuhan dalam perjalanan bila sangat membutuhkan. Selama itu untuk mengatasi kebutuhan mendesak dalam perjalanan boleh saja mengambil hasil kebun atau ternak (khusus ayam).  Pelaku karena tahu tidak bakal disakiti, mereka sering melakukan sambil mengejek dan mengundang amarah. Masing-masing tahu bahwa mereka tidak boleh saling memukul (dhepa dhunda weki apa wali papa kebha toa). Aktivitas mengambil hasil kebun dan ternak ayam disebut tua jaji (mengambil berdasarkan perjanjian).
Mengapa perjanjian (tase dare) yang menghasilkan keputusan tua jaji terjadi. Saya sudah menanyakan sejumlah orang yang lebih.  Sejak kapan perjanjian tua jaji itu ada, dan mengapa. Katanya pernjanjian ini sudah beberapa generasi dilakukan ketika penduduk masih sedikit. Ada hubungan kekerabatan dan saling mengasihi. Tua jaji diawali oleh hubungan persaudaraan dan saling mengasihi. Untuk melanggengkan tali kasih persaudaraan kedua kampung mengadakan perjanjian (tase dare). Tujuannya adalah  agar anak cucu kelak terus menjaga hubungan baik ini.  Perjanjian diadakan didalam kampung dengan disaksikan ulu eko (warga kampung) ule mere eko dewa (seluruh masyarakat luas).
Sekarang yang saya saksikan tau jaji antara boloroga dan mula koli itu yang saya tau. Sampai sekarang masyarakat terus menjalankan kebiasaan itu sampai kini.  Perjanjian (tase dare) dilakukan antara dua kelompok adat. Isi perjanjian adalah menetapkan bahwa dua kelompok warga tidak boleh saling menyakiti ( lima ma’e papa dhepa apa wali papa kebha toa). Dasar perjanjian ada rasa saling mengasihi dan mengharapkan bahwa kerukunan dan tali kasih ini berlanjut hingga turun temurun. Perbuatan tua jaji sendiri kini lebih bersifat kelakar menguji kesabaran. Dicaci -maki tapi tidak boleh dibalas dengan amarah. Diburu ayamnya dan diambil kelapanya oleh orang asing dibiarkan sambil memendam perasaan. Sabar kita tua jaji…..

molo sama teee...

MOSALAKI bukan PANGKAT


MosaLaki bukan pangkat tetapi peran seorang dalam masyarakat.  Seorang disebut mosaLaki bukan karena usia atau pendidikan serta gelar. MosaLaki adalah sebuah karisma berupa kemampuan-kemampuan istimewa sehingga nampak bijak dalam kata dan laku.  Ketika berbicara orang mendengarkan dan ketika mengungkapkan pendapat dan sikap dijadikan pegangan. Dia memang jadi tempat orang memanut karena  panjang akal dan juga besar kesabarannya.

Tuka mere kabu kapa  (usus besar dilingkari  lapisan lemak) adalah sifat yang dimiliki oleh seorang mosaLaki yang bijak.  Dalam berbagai pertemuan adat, mosaLaki menjadi pemuka dan pendengar yang bijak atas segala macam persoalan masyarakat.  Berbagai suara sumbang yang sering menimbulkan masalah seorang mosaLaki menanggapinya dengan dingin dan berusaha mencari solusi menenangkan dan menyenangkan semua pihak. Kesabaran yang luar biasa dan kebijaksanaan dalam mengambil keputusan  yang membuat seorang mosaLaki memiliki tuka mere kambu kapa.  Tuka mere (perut besar) yang membuat dia mampu menelan segala makanan termasuk yang pahit dan pedas. Kambu kapa (lapisan lemak) yang menjaga agar tubuh tetap hangat dan kuat menahan lapar  dan kekurangan. siap menghadapi semua masalah.

RUMAH ADAT ORANG MAUPONGGO


orang Ma'u biasa menyebutnya SEPU TEDA..

Sepu teda artinya ujung tenda. Pada masa dulu rumah adat orang Nagekeo dibangun dengan tenda  (balai) bertingkat 3(tiga). Tenda wena(tenda sepu), tenda wawo dan reta todo (one sao). Tenda wena atau tenda sepu adalah tingkat tenda paling bawah, yang digunakan untuk duduk-duduk sambil merokok. Tamu untuk waktu pendek diterima di tenda wena. Sekedar merokok dan terkadang minum kopi. Pada salah satu ujung tenda wena (tenda sepu) biasa digunakan untuk menempatkan kayu bakar atau pakan ternak seperti batang pisang. Tenda wawo biasa untuk tamu yang terhormat, atau tamu yang bakal duduk agak lama dan berbicara serius.  Di tempat ini selain merokok, minum kopi, biasa disusul dengan makan bersama.
Tenda wena (tenda bawah)  atau tenda sepu memilik ujung yang disebut sepu tenda.  Fungsi  sosial sepu tenda hanya digunakan untuk mengaso sementara. Ini adalah tempat menyapa orang lewat dan juga tempat singgah  sesaat bagi orang yang disapa.  Fungsi lain adalah untuk tempat menyiapkan makanan babi. Batang pisang yang telah dipanen buahnya biasa ditempatkan pada ujung tenda wena (tenda bawah). Ada kalanya tenda wena (tenda bawah) juga dijadikan tempat menaruh ikatan kayu bakar sebelum ditempatkan di pinggir dapur (onggi).  Dapur orang Nagekeo biasa pada tenda wawo, juga bisa pada one sao.  Dapur selain sebagai tempat memasak makanan, juga dijadikan sumber pemanas pada musim dingin.  Orang berdiang (niru)  di dekat perapian.
Ana sepu tenda (anak di ujung balai) sebuah ungkapan negatif yang berarti seorang anak hasil hubungan lelaki yang lewat di depan tenda (balai). Ana sepu tenda juga disebut ana kombe mere (malam gulita). Ana kombe mere berarti anak hasil hubungan gelap. Anak hasil hubungan dengan lelaki yang mendatangi rumah pada malam hari tanpa ketahuan. Anak kombe mere adalah anak haram, hasil hubungan gelap. Dalam budaya Nagekeo, ana sepu tenda mau pun ana kombe mere diakui keberadaan, karena rata-rata seorang ibu hamil diminta dan harus mengakui siapa ayah sang jabang bayi. Ana kombe mere atau ana sepu tenda ini umumnya tetap tinggal bersama ibu dan kakek neneknya. Bila beruntung sang anak diakui keberadaannya oleh ayahnya. Bila tidak sang ana kombe mere tetap mengikuti ibu dan ayah non biologisnya. Sang ana kombe mere ini sering dipandang miring oleh masyarakat.
Masyarakat Nagekeo sangat toleran dan menjaga perasaan sesamanya. Ana kombe mere juga diperlakukan layak, kecuali apabila sikap anak hubungan gelap ini berulah yang menyakitkan. Maka akan dibilang dasar ana sepu tenda atau dasar ana kombe mere.

Pages

Template by : kendhin x-template.blogspot.com