Di Nagekeo berkembang dua macam proses tenun. Proses pete (ikat) dan proses wo’i (sulaman). Pete dan wo’i adalah cara membuat pola pada bahan tenun. Luka bay (ragi bay) sebutan kain adat dimaupongo..
Ketika belum ada zat pewarna kimia, orang
kampung menggunakan tanam perdu yang disebut tarum (talu dalam bahasa
Mau) atau taru dalam bahasa Ende. Tarum menghasilkan warna biru. Caranya
mudah saja. Daun-daun tarum (talu/taru) bersama tangkai-tangkai kecil
direndam beberapa hari dalam wadah.Wadah
terbuat dari tanah liat berbentuk periuk tetapi dengan bukaan yang
lebar. Karena itu bila tidak ada, orang menggunakan periuk tanah yang di
pecah bagian atas. Bukaannya harus lebar untuk leluasa memasukkan
material yang yang akan diwarnai. Benang yang telah diikat sesuai dengan
pola yang dinginkan kemudian direndam minimal 2 hari dalam periuk
berisis tarum.
Saya sendiri belum pernah menyaksikan
bagaimana warna hitam dihasilkan oleh para penenun tradisional di
wilayah Boawae. Di wilayah ini dikenal dengan hoba nage, atau orang
pantai menyebutnya dawo pote. Ciri bahwa kain itu masih baru dengan
adanya ujung benang lusi dibarkan terurai dan di pilin. Di pesisir
selatan di wilayah Maubare, Daja, Mauromba dan Maundai semua mencelup
benang dalam larutan tarum. Bau rendaman tarum mengeluarkan bau basi,
yang lumayan bisa bikin mabuk bagi yang tidak biasa. Kalau tarum untuk
warna hitam atau biru, maka warna terang yaitu warna kuning diperoleh
dari kembo atau kaju kune. Kembo atau kaju kune adalah pohon mengkudu.
Dan yang digunakan adalah akar pohonnya dan terkadang dahan atau batang
pohonnya. Kayu-kayunya di dibelah dan dipotong kecil kemudian direbus
dan direndam bersama benang.Hasilnya warna kuning kemerahan atau
jingga.
Keterbatasan mendapatkan zat warna ini
yang membuat semua hasil tenun Nagekeo selalu berwarna hitam dan kuning
saja. Itulah zat warna yang ada dan biasa dipakai. Karena berlangsung
puluhan tahun, maka dianggap sebagai ciri khas tradisi seni tenun.Tenun
ikat pantai selatan disebut dawo ende. Ini merujuk asal dari kebiasaan
ikat dan pewarnaan benang serta tenun. Ini tenun khas berasal dari Ende.
Dan tenun ikat untuk dawo ende ini hanya ibu-ibu yang beragama Islam.
Tenun woi tradisi asli orang Nagekeo.
Kami mengadakan pendekatan dengan penenun
di Maundai untuk coba mengembangkan tenun ikat. “Repot sekali” demikian
katanya. Proses tenun ikat memang jauh lebih rumit. Karena benang lusi
harus dibuat pola dengan mengikat kemudian dicelup dalam larutan
pewarna. Tetapi tenun ikat bisa lebih luwes dalam mengaplikasi pola.
Karena itu tidak heran bila di Daja, Mauromba dan Maundai tidak pernah
lagi tercium aroma endapan tarum. Dan tentu tidak ada lagi orang yang
menenun dawo ende. Semuanya didatangkan dari luar Nagekeo. Tidak ada
yang melihat ini sebagai peluang usaha. Ibu-ibu di pantai selatan lebih
banyak mengenakan dawo ende, tetapi semuanya berasal dari kabupaten
Ende. Pemerintah daerah harus punya kiat sendiri untuk menghidupkan
kembali kerajinan tenun ikat (pete senda) di wilayah kabupaten Nagekeo,
khususnya di wilayah Keo Tengah (Daja, Mauromba dan Maundai serta
Maunori) dan Nagaroro ( Maunura, Maubare, Tonggo, Pombo). Ini juga
salah satu cara mengurangi ketergantungan suplai kain sarung dawo ende
dari Ende dan Pulo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar