Kobe modhe…
Seperti malam
sebelumnya malam ini, kami berkumpul di dihalaman (tempat nongkrong). Lima lelaki: tiga sudah beristri, dua masih
bujang (termasuk saya). Kami berbincang ditemani kepulan asap rokok dan
hangatnya kopi…. Berbicara tentang desa/kota tempat dari kami berasal..
secara tak sengaja,
saya jadi ingat kampung. Tepatnya budaya merokok di kampung, umumnya Flores dan
pulau-pulau sekitarnya… tp saya hny akan menuliskan tentang budaya merokok di mauponggo bukan
di tempat-tempat lain di tanah air, orang mauponggo, khususnya laki-laki, memang sangat
doyan merokok. Bahkan, merokok,moke dan kopi sudah jadi salah satu budaya di
mauponggo.
Ketika ada bapak-bapak main ke rumah entah ada keperluan atau sekedar bersilaturahmi, maka orang-orang di kampung saya di boloroga (mauponggo)'hampir diwajibkan' untuk menyugguhkan rokok dan kopi. Ungkapan dalam bahasa setempat “musu bako” (isap rokok),inu kopi (minum kopi) dan inu tua (minum moke)...
ada yg berbeda dari rokok kretek di kampong yg biasa di minati orang tau (ame ka’e)..,
Ketika ada bapak-bapak main ke rumah entah ada keperluan atau sekedar bersilaturahmi, maka orang-orang di kampung saya di boloroga (mauponggo)'hampir diwajibkan' untuk menyugguhkan rokok dan kopi. Ungkapan dalam bahasa setempat “musu bako” (isap rokok),inu kopi (minum kopi) dan inu tua (minum moke)...
ada yg berbeda dari rokok kretek di kampong yg biasa di minati orang tau (ame ka’e)..,
apa bedanya??
mereka melinting rokoknya sendiri.. ya Yang dilinting
bukan daun jagung, tapi daun lontar(koli) alias siwalan. Seperti diketahui, lontar
merupakan tanaman khas di daerah kering macam NTT yang juga menjadi ciri khas
bumi flobamora..
Pohon lontar memang serbaguna. Bisa untuk bahan bangunan karena sangat kuat. Daunnya untuk bikin timba. Niranya untuk gula (didaerah timor) dan minuman tradisional bernama tuak dan arak. Karena punya kultur lontar, jangan heran bila orang-orang di kawasan Flores sangat doyan minum tuak (moke), yang kemudian berlanjut dengan arak atau miras-miras buatan pabrik macam bir, wiski, dan sebangsanya.
Daun lontar dipakai untuk atap rumah. Bisa juga untuk tikar. Bisa untuk bakul dan sejenisnya. Dan, yang paling penting bagi orang tua, daun lontar jadi klobot untuk melinting tembakau. Budaya merokok pakai daun koli (lontar) ini sudah berlangsung dari generasi ke generasi.
Rokok buatan sendiri.. Tembakaunya pun tak usah beli karena bisa dipetik dari pekarangan atau kebun sendiri. Pada tahun 1980-an dan 1990-an kita bisa dengan mudah melihat bapak-bapak dan kakek-kakek membawa kotak khusus berisi tembakau plus daun koli hingga saat ini wlu sudah jarang. Bagian dalam daun siwalan alias lontar alias koli itu digaruk sehingga gampang digulung. Kalau sudah merokok, suasana sangat gayeng. Orang bisa bicara panjang lebar, bahkan sampai lupa waktu.
Begitu kuatnya budaya merokok, orang-orang tua di kampung kurang percaya dengan peringatan pemerintah bahwa 'merokok itu merugikan kesehatan'. Tapi kebanyakan tidak percaya bahwa rokok, atau tepatnya tembakau, itu mengandung begitu banyak bahan kimia berbahaya.
Mengapa kurang yakin? Mereka belum melihat bukti orang-orang yang merokok itu cepat mati atau terkena penyakit-penyakit yang disebutkan dokter. Apalagi usia kakek-kakek yang 'melestarikan' budaya merokok itu selama ini panjang-panjang. hehehe.
Tulisan 'peringatan pemerintah' di bungkus rokok pun diangap angin lalu.
seiring berkembangnya teknologi dan informasi budaya musu bako koli alias ngelinting rokok ini mulai sedikit bergeser. Muncul kebiasaan baru, yang dianggap lebih maju, yakni mengisap rokok lawas merek DJI TOE (ji tu). Rokok putih ini rasanya kurang populer di Jawa, tapi sangat digilai di mauponggo. Warung-warung (kios) kecil yang jualan “dji toe) biasanya laris manis.
Selain DJI TOE, rokok kretek merek Bentoel sangat digandrungi generasi muda yang mulai makan sekolahan dan terpengaruh gaya hidup perkotaan. Beda dengan di daerah lain yang saya lihat dan dengar lebih suka rokok Gudang Garam atau Djarum.
Setelah tahun ke tahun, kakek-kakek penggemar rokok koli ala ma”u dari daun lontar itu satu per satu meninggalkan dunia fana ini. Bukan karena kanker atau penyakit-penyakit berbahaya, tapi karena memang sudah terlalu tua. Budaya merokok masih dilestarikan di kampung, tapi kebanyakan bukan lagi rokok koli, melainkan rokok-rokok buatan pabrik.
sekarang penggemar rokok koli sudah berkurang,mulai ada peralihan ke rokok-rokok pabrikanyg terbilangi cukup mahal. Harus punya uang baru bisa membeli Bentoel atau Gudang Garam. Beda dengan rokok koli yang memang gratisan…
Pohon lontar memang serbaguna. Bisa untuk bahan bangunan karena sangat kuat. Daunnya untuk bikin timba. Niranya untuk gula (didaerah timor) dan minuman tradisional bernama tuak dan arak. Karena punya kultur lontar, jangan heran bila orang-orang di kawasan Flores sangat doyan minum tuak (moke), yang kemudian berlanjut dengan arak atau miras-miras buatan pabrik macam bir, wiski, dan sebangsanya.
Daun lontar dipakai untuk atap rumah. Bisa juga untuk tikar. Bisa untuk bakul dan sejenisnya. Dan, yang paling penting bagi orang tua, daun lontar jadi klobot untuk melinting tembakau. Budaya merokok pakai daun koli (lontar) ini sudah berlangsung dari generasi ke generasi.
Rokok buatan sendiri.. Tembakaunya pun tak usah beli karena bisa dipetik dari pekarangan atau kebun sendiri. Pada tahun 1980-an dan 1990-an kita bisa dengan mudah melihat bapak-bapak dan kakek-kakek membawa kotak khusus berisi tembakau plus daun koli hingga saat ini wlu sudah jarang. Bagian dalam daun siwalan alias lontar alias koli itu digaruk sehingga gampang digulung. Kalau sudah merokok, suasana sangat gayeng. Orang bisa bicara panjang lebar, bahkan sampai lupa waktu.
Begitu kuatnya budaya merokok, orang-orang tua di kampung kurang percaya dengan peringatan pemerintah bahwa 'merokok itu merugikan kesehatan'. Tapi kebanyakan tidak percaya bahwa rokok, atau tepatnya tembakau, itu mengandung begitu banyak bahan kimia berbahaya.
Mengapa kurang yakin? Mereka belum melihat bukti orang-orang yang merokok itu cepat mati atau terkena penyakit-penyakit yang disebutkan dokter. Apalagi usia kakek-kakek yang 'melestarikan' budaya merokok itu selama ini panjang-panjang. hehehe.
Tulisan 'peringatan pemerintah' di bungkus rokok pun diangap angin lalu.
seiring berkembangnya teknologi dan informasi budaya musu bako koli alias ngelinting rokok ini mulai sedikit bergeser. Muncul kebiasaan baru, yang dianggap lebih maju, yakni mengisap rokok lawas merek DJI TOE (ji tu). Rokok putih ini rasanya kurang populer di Jawa, tapi sangat digilai di mauponggo. Warung-warung (kios) kecil yang jualan “dji toe) biasanya laris manis.
Selain DJI TOE, rokok kretek merek Bentoel sangat digandrungi generasi muda yang mulai makan sekolahan dan terpengaruh gaya hidup perkotaan. Beda dengan di daerah lain yang saya lihat dan dengar lebih suka rokok Gudang Garam atau Djarum.
Setelah tahun ke tahun, kakek-kakek penggemar rokok koli ala ma”u dari daun lontar itu satu per satu meninggalkan dunia fana ini. Bukan karena kanker atau penyakit-penyakit berbahaya, tapi karena memang sudah terlalu tua. Budaya merokok masih dilestarikan di kampung, tapi kebanyakan bukan lagi rokok koli, melainkan rokok-rokok buatan pabrik.
sekarang penggemar rokok koli sudah berkurang,mulai ada peralihan ke rokok-rokok pabrikanyg terbilangi cukup mahal. Harus punya uang baru bisa membeli Bentoel atau Gudang Garam. Beda dengan rokok koli yang memang gratisan…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar