WELCOME TO MY LIFE

TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA,SEMOGA ANDA TEMUKAN YANG ANDA CARI,SAYA TIDAK BERMAKSUD MENGGURUI, MENUNTUN ATAU MERUBAH.. HNY INGIN BERBAGI, MENGGORES WARNA, MENGHAPUS LUKA..
Tampilkan postingan dengan label NAGEKEO. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label NAGEKEO. Tampilkan semua postingan

14 Agu 2015

KEWAJIBAN DALAM BUDAYA MAUPONGGO (TI'I PATI)

Berita kematian, pemberitahuan tentang kegiatan adat seperti pernikahan, bangun rumah, pesta-pesta baptis dan terutama komuni pertama, semuanya bukan sekedar berita dan informasi biasa. Tetapi semua informasi yang berujung pada kewajiban. Hidup di kampung bukan menjadi urusan sendiri. Hidup itu sosial. Terikat dengan yang lain. Selalu bersama dengan orang lain. Pada saat seorang bermasalah, jangan takut, karena ada orang lain ikut merasakan dan selalu siap ringan tangan membantu. Demikian juga sebaliknya seorang berkewajiban menolong yang lain. Ada hubungan timbal balik.... Kata ti’i pati berarti memberi dan berbagi. Ti’i pati yang berkaitan dengan adat adalah wajib. Itu adalah tidak saja menjadi ungkapan kasih tetapi juga merupakan bentuk demonstrasi harga diri. Ti’i pati dalam adat mauponggo tidak akan pernah berhenti, terus berjalan selama hidup dalam masyarakat. Budaya ti’i pati yang berkaitan dengan adat suatu yang abadi, dan tidak berubah. Hukumnya wajib. Tidak pernah ada toleransi pada kondisi miskin atau kaya. Karena semua manusia sama di depan hukum adat. Hukum adat sebagai tradisi selalu berkaitan dengan ti’i pati. Hal ini merupakan kewajiban yang tidak bisa ditolak. Tradisi adat adalah warisan leluhur. Melanggar adat berarti mencederai hukum sama artinya dengan mengucilkan diri dari pergaulan masyarakat adat. Sebagai perbuatan memberi dan berbagi, orang mauponggo tahu apa yang terbaik dilakukan demi harga diri. cengkeh, kakao, , dan kopra hanya cerita. uang hasil panen hanya numpang lewat. Semua hasil jerih payah habis untuk melunaskan utang adat...

4 Okt 2014

SUKU LAPE (mbay_nagekeo)


WILAYAH TANAH LAPE

Orang Lape mengakui batas tanah mereka  sebelah timur  Ulu tana li, lange Toto (di tanah li berbatasan dengan Toto) dan   di bagian barat eko kela ngeta  lange Bare, berbatasan dengan Bare.  Sebelah selatan logo be’I keli di Amegelu (gunung Lambo) dan ujung utara a’I  deli mesi (sampai ke bibir pantai )laut Flores.  


ASAL USUL ORANG LAPE                                                    
Tidak ada  catatan yang pasti.Tetapi orang Lape mewariskan cerita turun temurun  Hitungan bisa diperkirakan dari masa tegaknya peo. Dengan adanya 7 (tujuh) kali mendirikan Peo, maka  diperkirakan orang Lape sudah menghuni tempat ini sekitar 500 tahun. Menurut cerita turun temurun orang Lape berasal dari Tiwu Lewu,  satu daerah  di wilayah Lio Utara  yang berubah menjadi danau (tiwu)  akibat banjir bandang  yang melanda sampai menenggelamkan rumah-rumah penduduk.  Tujuh keluarga besar melarikan diri, mengungsi ke arah barat.Mereka pertama kali menetap di  Malasera, , bukit sebelah timur gereja Dangadekat lokasi Perumahan jabatan sekarang.
Orang Lape kemudian pindah ke tempat yang lebih tinggi.  Perpindahan itu berawal dari sebuah peristiwa alam.  Dari kejauhan ada yang melihat air mengucur dari atas sangat banyak. Ada yang menyangka seperti air terjun.  Mereka akhirnya bergerak kesana. Ternyata yang menjadi sumber air adalah tetesan air  dari mayang pohon lontar. Mereka kemudian membangun pemukiman sederhana di  dekat sebuah rumpun bamboo aur (guru pire).
Suatu ketika  seekor ayam jantan piaraan mereka berlari ke suatu tempat dan hinggap  di atas pohon waru. Ayam itu terus bertengger di sana dan mengeluarkan suara kokok yang  aneh seolah-olah mengatakan ‘mai dia’ (mari kesini).  Suara kokok berulang-ulang ini ditafsrikan sebagai penggilan bagi orang Lape untuk bergerak dan pindah. Dan kemudian mereka menemukan tempat tersebut sangat ideal sebagai lokasi aman untuk kampung.  Lokasi ini dirasa aman karena berada di tempat yang tinggi dengan sedikit bertebing sebelah timur. Inilah lokasi kampung Lape tempat mereka menetap  sampai sekarang.
Ketujuh keluarga besar itu akhirnya menetap di kampung Ola Lape, yang mereka sebut juga Ola Waja. Sebuah kampung yang tidak sekedar tempat tinggal, tetapi juga memiliki daya magis mempersatukan  ketujuh keluarga  besar itu.
Tujuh suku Lape adalah:
1.      Suku Ko dengan kepala soma Laga Tawa
2.      Suku Naka Nawe dengan kepala soma Jo Pobo
3.      Suku RogaWawo dengan kepala soma Goa Wonga
4.      Suku Roga Au dengan kepala soma Ru Wona
5.      Suku Nakazale dengan kepala soma  Wawo Buu Tawa
6.      Suku Woe Renge dengan kepala soma Hanoy
7.      Suku Naka Zale Au dengan kepala soma Ala Wula
Ketujuh suku ini dipersatukan dengan membangun Peo.  Dalam sejarahnya suku Lape telah mendirikan 7 (tujuh) Peo.  Dalam menjalankan aktivitas besar orang Lape selalu bersandar pada leluhur mereka. Mereka selalu berdoa dan minta petunjuk pada leluhur mereka. Terutama dalam membangun Peo. Peo dibangun selalu berdasarkan petunjuk leluhur yang dihadirkan dalam mimpi. Orang Lape memberi nama peo setiap kali mereka dirikan.
Nama Peo dan nama warga yang mendapat petunjuk untuk mendirikan peo sebagai berikut:
1.        Peo LILA ULU atasdasarpetunjukmimpi kepada Ebu SabuTawa
2.       Peo  WOY  TEY atas dasar petunjuk mimpi kepada Ebu PukuTey
3.       Peo WANGA WEA atas dasar petunjuk mimpi kepada Ebu Sera  Tey
4.       Peo  NAGO NUA atas dasar petunjuk mimpi kepada Ebu Busu Lama
5.       Peo PANGO MAU atas dasar petunjuk mimpi kepada Ebu Sawu Gamo
6.       Peo  WONGA WULA atas dasar petunjuk mimpi kepada Ebu Kota Lama
7.       Peo  SUPI LAPE  atas dasar petunjuk mimpi kepada Ebu Papu Bara

Dasar Belis (NageKeo)


Setiap suku memiliki adat dan budaya serta peraturan yang tertuang dalam hukum adat berbeda-beda. Dalam adat dan budaya Indonesia umumnya dan Nagekeo khususnya, pengikatan janji sehidup semati dalam perkawinan secara hukum adat dipahami mengandung dampak kerugian bagi pihak wanita secara pribadi dan keluarganya. Makanya pihak lelaki mempunyai kewajiban untuk memberikan ganti atau kompensasi atas kerugiaan ini. Kompensasi ini yang disebut dengan mahar atau mas kawin.
Mahar atau Mas kawin adalah harta yang diberikan oleh pihak mempelai laki-laki (atau keluarganya) kepada mempelai perempuan (atau keluarga dari mempelai perempuan) pada saat pernikahan. Mahar aatau mas kawin ini dikenal dengan istilah belis atau dalam bahasa Nagekeo ‘tau ngawu’. Ngawu berarti benda atau harta.
Sebaliknya bila pemberi mahar adalah pihak keluarga atau mempelai perempuan, sebagai imbalan atas pemberian pihak lelaki disebut dengan istilah sundo bhando (beri balasan) Secara antropologi, belis atau tau ngawu adalah bentuk lain dari transaksi jual beli sebagai kompensasi atas kerugian yang diderita pihak keluarga perempuan karena kehilangan beberapa faktor pendukung dalam keluarga seperti kehilangan tenaga kerja, dan berkurangnya tingkat fertilitas dalam kelompok.
Bicara tentang kompensasi atas kerugian dilihat dari dua sisi:
Keluarga: kehilangan faktor pendukung tertutama kehilangan tenaga kerja serta tingkat kesuburan (fertilitas) dalam kelompoknya). Ada sesuatu yang diambil dari haknya.
Bagi wanita secara pribadi adalah seolah merelakan diri dan melepaskan semua harga dirinya. Bahkan dianggap kehilangan harga dirinya akibat ulah mempelai laki-laki terhadap mempelai perempuan. Kehadiran seorang lelaki dalam kehidupan pribadi wanita dianggap seperti manu kale kata (ayam yang mengais dan mengacak sangkar) dan melakukan tindakan merusak ibarat topo kai kaja (parang yang membelah dan merusak dinding). Wanita mengorbankan harga diri dan menderita, karena itu pihak lelaki juga harus memberikan jenis mas kawin yang disebut dengan Wea Solo. Wea Solo adalah emas perhiasan sebagai penghibur (solo) atas penderitaannya.

Tentang MosaLaki (Nagekeo)


Mosalaki (mosadaki) itu adalah gelar yang diberikan pada seorang lelaki di Nagekeo, tapi tidak semua orang laki-laki disebut mosadaki. Mosadaki (mosalaki)  berasal dari kata mosa (jantan dan besar) dan daki atau laki (jenis kelamin laki). Seorang mosadaki sesungguh memiliki sifat kejantanan itu. Seorang mosadaki memiliki keberanian dan kesatriaan.  Dia harus mampu membela dan melindungi. Karena itu dalam berbagai urusan adat terutama pada saat menghadapi masalah, seorang mosadaki berada di depan dan menjadi seorang organisator dan pemimpin kelompoknya.

Mosa tana laki watu
Mosalaki selalu dikaitkan dengan tanah dan kepemilikannya. Ketokohan mosalaki karena statusnya sebagai pemilik tanah atau tuan tanah. Karena itu mosalaki disebut mosa tana laki watu.  Sebagai pemilik maka mosalaki memiliki otoritas dalam urusan adat dan urusan tanah.Dilihat dari sisi ini maka mosalaki sesungguhnya dilahirkan. Seorang menjadi mosalaki karena berasal dari turunan mosalaki, seorang pemilik tanah.  Dia adalah putera seorang mosalaki. Mosalaki adalah putera pilihan, bukan hanya karena seorang anak mosalaki.  Putera seorang tuan tanah atau mosalaki belum tentu menyandang panggilan mosalaki. Karena seorang mosalaki memiliki kriteria atau atribut lebih.  Memiliki jiwa yang satria dan jiwa kepemimpinan (waka nga).

Ine tana ame watu:
Mosalaki  sebagai pemilik utama tanah disebut juga dengan ine tana ame watu. Mosalaki kelas ini adalah putera turunan langsung dari pemilik sebuah wilayah atau yang disebut pula sebagai ta ngala ngga’e (pemilik) atau ta ngala tanah watu (pemilik tanah).

Ine ku ame lema:
Dalam skala yang lebih kecil ada penguasa sebahagian tanah garapan (ku lema).  Pada masa lalu tanah-tanah masih kosong. Siapa saja dalam suku yang mengolah tanah diakui sebagai pemilik lahan (ku lema).  Pemilik lahan dalam skala kecil disebut ine ku ame lema. Karena meraka masih dalam garis keturunan pemilik tanah maka kewenangan dan kepemilikannya diakui sebgai tuan tanah dalam skala yang terbatas. Mereka tetap tunduk pada Ine tana ame watu.  Pengakuan ku lema (lahan olahan) berdasarkan pada kondisi lahan yang sudah penuh dengan tanaman ekonomis berupa tanaman kelapa  (nio) dan pinang (eu). Orang Keo selalu menanam pohon-pohon tanaman jangka panjang bernilai ekonomis ini pada pinggir-pinggir batas tanah olahan.  Pengakuan kepemilikan atas lahan olahan berdasarkan kondisi nio tiko eu tako (daun pohon kelapa dan pinang saling bersambungan di sekitar lahan).

Tuka babho
Seorang mosalaki harus mampu memimpin dan mempengaruhi orang lain. Seorang mosalaki harus memiliki kemampuan menjadi tuka mbabho (juru runding). Sebagai juru runding (tuka mbabho) seorang mosalaki harus memiliki kemampuan untuk mendengar, menganalisa serta mencari kesimpulan untuk mencari solusi.

Tuka mere kambu kapa
Karena itu seorang mosalaki harus memiliki tuka mere kabu kapa. Tuka mere kabu kapa adalah sebuah istilah yang menjelaskan sifat seorang mosadaki harus sabar dan memiliki daya tahan. Dia harus memiliki tuka mere (perut besar) untuk mampu menerima masukan  dan kambu kapa (lilitan lemak tebal) agar siap menampung dan menahan segala emosi. Semua ucapan dan tindakan seorang mosadaki harus memiliki dasar yang jelas dan melewati pertimbangan yang matang.

Mosa tuka tiba laki mata laci
Seorang mosadaki adalah seorang juru runding yang bijaksana dan adil. Seorang mosalaki adalah mosa tuka timba daki mata daci. Dia harus mampu menimbang secara benar dan seimbang (adil) seperti pertemuan dua mata timbangan. Setiap keputusan mosadaki harus tidak memihak. Harus memperlihatkan dan mendahulukan keadilan.

Mosalaki pongga rore mosalaki
Seorang mosalaki bukan sekedar pemimpin, tetapi juga seorang yang punya semangat berkorban. Masyarakat tidak menghargai mosa tungga ko’o punu (mosadaki yang hanya tahu bicara), karena mosadaki harus mosa ne’e odo tau (mosa dalam tindakan).  Masyarakat menilai mosadaki yang hanya tahu bicara tetapi tidak pernah berbuat sebagai mosa ka daki pesa (mosadaki yang hanya tahu makan atau menikmati).

Mosa nua laki ola
Mosalaki sebagai tan ngala mbu’u atau ta ngala tana watu (tuan tanah) dia menjadi mosa nua laki ola (pemuka dalam kampung). Mosa nua laki oda bukan tunggal tetapi semua orang-orang terpandang karena keturunan dan kepemilikan atas lahan serta pengaruh karena charisma-kharsima istimewa. Mereka ini yang memiliki hak suara dan pengambil keputusan dalam urusan adat serta tanah.

Mosa ulu mere eko lewa

(adapun kesalahan penulisan dalam bahasa daerah (bahasa adat) mohon dikoreksi bersama.. segala tambahan mengenai adat istiadat Negekeo sangat diharga dan diterima... terima kasai)

molo............

Kain Tenun Nagekeo (Luka Bay)


Di Nagekeo berkembang dua macam proses tenun. Proses pete (ikat) dan proses wo’i (sulaman). Pete dan wo’i adalah cara membuat pola pada bahan tenun. Luka bay (ragi bay) sebutan kain adat dimaupongo..
Ketika belum ada zat pewarna kimia, orang kampung menggunakan tanam perdu yang disebut tarum (talu dalam bahasa Mau) atau taru dalam bahasa Ende. Tarum menghasilkan warna biru. Caranya mudah saja. Daun-daun tarum (talu/taru) bersama tangkai-tangkai kecil direndam beberapa hari dalam wadah.Wadah terbuat dari tanah liat berbentuk periuk tetapi dengan bukaan yang lebar. Karena itu bila tidak ada, orang menggunakan periuk tanah yang di pecah bagian atas. Bukaannya harus lebar untuk leluasa memasukkan material yang yang akan diwarnai. Benang yang telah diikat sesuai dengan pola yang dinginkan kemudian direndam minimal 2 hari dalam periuk berisis tarum.



Untuk memperoduksi larutan pewarna  butuh waktu  beberapa hari bahkan sampai satu minggu.  Daun-daun tarum direndam dalam air  kemudian membusuk dan mengeluarkan warna yang gelap (indigo blue).  Warna hitam kebiruan, berwana biru tua (deep blue) akan menyerap pada benang-benang ini.  Setelah benang diangkat dan dijemur sampai kering kemudian ikatan-ikatan pola dilepaskan. Maka akan kelihatan warna putih pada bekas ikatan. Bila ingin diberi warna kuning maka benang sekali lagi dicelup pada warna yang dinginkan.


Saya sendiri belum pernah menyaksikan bagaimana warna hitam dihasilkan oleh para penenun tradisional di wilayah Boawae. Di wilayah ini dikenal dengan hoba nage, atau orang pantai menyebutnya dawo pote. Ciri bahwa kain itu masih baru dengan adanya ujung benang lusi dibarkan terurai dan di pilin. Di pesisir selatan di wilayah Maubare, Daja, Mauromba dan Maundai semua mencelup benang dalam larutan tarum.  Bau rendaman tarum mengeluarkan bau basi, yang lumayan bisa bikin mabuk bagi yang tidak biasa.  Kalau tarum untuk warna hitam atau biru, maka warna terang yaitu warna kuning diperoleh dari kembo atau kaju kune. Kembo atau kaju kune adalah pohon mengkudu.  Dan yang digunakan adalah akar pohonnya dan terkadang dahan atau batang pohonnya. Kayu-kayunya di dibelah dan dipotong kecil kemudian direbus dan  direndam bersama benang.Hasilnya   warna kuning kemerahan atau jingga.


Keterbatasan mendapatkan zat warna ini yang membuat semua hasil tenun Nagekeo  selalu berwarna hitam dan kuning saja.  Itulah zat warna yang ada dan  biasa dipakai. Karena berlangsung puluhan tahun, maka dianggap sebagai ciri khas tradisi seni tenun.Tenun ikat pantai selatan disebut dawo ende. Ini merujuk asal dari kebiasaan ikat dan pewarnaan benang serta tenun. Ini tenun khas berasal dari Ende. Dan tenun ikat untuk dawo ende ini hanya ibu-ibu yang beragama Islam. Tenun woi tradisi asli orang Nagekeo.
Kami mengadakan pendekatan dengan penenun di Maundai untuk coba mengembangkan tenun ikat. “Repot sekali” demikian katanya. Proses tenun ikat memang jauh lebih rumit. Karena benang lusi harus dibuat pola dengan mengikat kemudian dicelup dalam larutan pewarna.   Tetapi tenun ikat bisa lebih luwes dalam mengaplikasi pola. Karena itu tidak heran   bila di Daja, Mauromba dan Maundai tidak pernah lagi tercium aroma  endapan  tarum. Dan tentu tidak ada lagi orang yang menenun dawo ende. Semuanya didatangkan dari luar Nagekeo. Tidak ada yang melihat ini sebagai peluang usaha. Ibu-ibu di pantai selatan lebih banyak mengenakan dawo ende, tetapi semuanya berasal dari kabupaten Ende. Pemerintah daerah harus punya kiat sendiri untuk menghidupkan kembali kerajinan tenun ikat (pete senda) di wilayah kabupaten Nagekeo, khususnya di wilayah Keo Tengah (Daja, Mauromba dan Maundai serta Maunori) dan  Nagaroro ( Maunura, Maubare, Tonggo, Pombo). Ini juga salah satu cara mengurangi ketergantungan suplai  kain sarung dawo ende dari Ende dan Pulo.

2 Jun 2013

Perempuan Negekeo Itu EMAS


Wanita Nagekeo Wanita Emas..begitu saya ibaratkan wanita dari negri yang satu ini..
Wea, emas dan mas kawin..
Kita tahu dengan pasti berharganya sebuah emas, tidak semua orang dapat membelinya..
Tidak gampang untuk dapat memilikinya. Tapi terkadang emas-emas itu lupa akan harga dirinya, tidak kuat godaan lalu melebur dalam bara api perkotaan.. padahal emas dibentuk dari panas bahkan sangat panas… dan harganya pun naik..

Kumpul Kebo atau be’o Me’a, Nggesu  Nggomi   adalah pernikahan melalui jalan pintas. Ini dianggap sebuah pernikahan yang hanya diketahui  pasangan saja (be’o me’a). Seorang lelaki mendatangi kosan wanita atau sebaliknya kemudian hidup bersama tanpa sepengetahuan orang tua.  Pernikahan cara ini semakin popular saat ini dikalangan mahasiwa/i,alasan yang logis sebagai satu cara menghindari hukum adat perkawinan yang rumit dan memakan biaya (alasan versi_penulis).  Sejak orang nagekeo mengenal  Gereja Katolik, perkawinan ini sebut dengan kawin kampung. Sebuah pernikahan yang belum disahkan secara agama.  Sebaliknya bagi keluarga nagekeo yang beragama islam,  mereka tidak melakukan pernikahan cara ini. Mengingat hampir semua pernikahan islam di Nagekeo tidak menuntut belis (atau mas kawin).  Karena hukum agama, mereka selalu meresmikan pernikahan secara agama, dengan cara sederahana sesuai dengan keadaannya.
Suatu saat kelurga wanita akan tau juga, dan anda yang sudah terlanjur “kumpul Kebo”/be’o me’a” harus mempersiapkan diri.
“kumpul Kebo”/be’o me’a tidak menuntut belis (mas kawin) yang banyak.  Pemberian mas kawin sebagai bukti dukungan orang tua pihak laki-laki mendukung atau dalam bahasa daerah disebut dengan ‘pela nia pa ngara ‘(tunjuk muka dan memperjalas nama keluarga). Biasanya dilakukan pada saat wanita sudah hamil.
Belisnya hanya diberikan
a.       Jara pa nia (seekor kuda sebagai tanda perkenalan dan kehadiran orang tua).
b.      Weki mere jaga dewa penghargaan atas orang tua yang telah membersarkan sampai  bertumbuh besar dan tinggi (weki mere, jana dewa).  Pemberian ini juga disebut ut Ine Dhadhi, bapa mesu (ibu yang melahirkan dan bapa yang mengasihi).
c.       Penghargaan kepada ebu mame (paman).  Orang Nagekeo selalu menempatkan paman (saudara ibu pengantin wanita) sebagai ranking atas (ape wawo). Setiap upacara adat selalu mendapat penghormatan istimewa.

#molo sama te

24 Sep 2012

TAHAP-TAHAP PERKAWINAN ADAT BUDAYA NAGEKEO





Proses adat perkawinan nagekeo, sebelum pasangan naik ketahap perkawinan gereja, pasangan yg hendak menikah, dituntut untuk melewati proses adat yang panjang, dan pengeluaran yang tidak sedikit ........


            Zaman sekarang (modern) ini, upacara perkawinan adat atau adat istiadat perkawinan semakin memudar, hal ini disebabkan globalisasi informasi teknologi dan komunikasi sehingga kebudayaan asing (westernisasi) yang masuk ke wilayah kita masing-masing dengan tidak adanya penyaring (filter) mana yang baik dan yang tidak.
Upaya melestarikan kebudayaan local khususnya adat perkawinan perlu mengikuti tahap-tahapan adat sesuai dan benar namun disederhanakan sesuai keadaan sekarang. Pertanyaanya: apa yang terjadi sekarang? Banyak dikalangan muda yang melanggar dan mengabaikan tahap-tahap perkawinan adat.
Melihat keadaan di atas penulis terpanggil untuk menuliskan proses perkawinan adat yang dilaksanakan Kabupaten Nagekeo guna memenuhi rasa ingin tau dengan tujuan Memenuhi Menambah wawasan dan pengetahuan proses perkawinan adat dan tahapan-tahapannya perkawinan adat nageken dan 

 
Menambah informasi mengenai proses perkawinan adat kepada para pembaca  yang mencintai budayanya.

Berikut proses tahap-tahap ritus adat perkawinan budaya nagekeo

Ale Ngale
            Ale Ngale menurut adat nagegeko adalah proses orang tua dan keluarga laki-laki menemui orang tua dan keluarga wanita bertujuan untuk meminang anak gadis menjadi tunangan. Pada tahap ini, pihak orang tua dan keluarga laki-laki mengungkapkan niat mereka (ale ngale) dengan bahasa adanya sebagai berikut:
            “Seu ana wawi ta moka“  jika lamaran diterima, pihak wanita akan membalas  dengan  bahasa : “wawi moka dia ma ne’e. Apabila sudah ada persetujuan kedua belah pihak  maka  akan memilih sesorang sebagai delegasi atau “a’I rala“ yang berfungsi dari masa  pertunangan sampai saat  perkawinan.

Poga Lako
            Poga lako atau bunuh anjing yang di bawa pihak keluarga laki–laki, sedangkan pihak wanita menyiapkan seekor anak babi. Anjing dan babi tersebut di bunuh untuk dihidakan atau dimakan bersama-sama sebagai lambang persatuan. Pada tahap ini, dibicarakan ulu atau ngawu yang diminta oleh pihak keluarga wanita dan calon pengantin pria langsung tinggal di rumah wanita untuk kerja. Ngawu yang dibawah pada tahap sebagai berikut:
·        

 
Anjing lambang persaudaraan
·         Moke lambang :
-          Minuman perjanjian
-          Minuman persaudaraan

Tei Uya
            Pada tahap Tei Uya ini yang perlu dibawa pihak keluarga laki-laki adalah kerbau, kuda, emas (Wunu Mengi), kambing, anjing, ayam, moke, parang adat (topo) serta sirih pinang sesuai permintaan pihak keluarga wanita.
            Pihak keluarga wanita menyiapkan babi besar, kain bunga, tikar, bantal dan kue cucur (fidu) untuk diberikan kepada keluarga laki-laki. Hati babi yang dibunuh diperiksa dengan kepercayaan adat oleh tua adat untuk mendapatkan tanda-tanda, apabila ada tanda-tanda tidak baik maka proses perkawinan adat tersebut dibatalkan dan sebaliknya tanda-tanda baik maka proses pertunanganan dilanjutkan ke tahapan adat yang berikutnya.
            Emas (Wunu Mengi) mempunyai symbol bahwa: a) wanita yang dipinang tersebut adalah wanita yang bermartabat dan bukan wanita murahan; ) wanita yang dipinang tersebut adalah wanita yang sulit didapat atau unik; dan c) cinta butuh pengorbanan.

Ti’i  Te’e Pati Lani (Memberi tikar dan bantal)
Artinya menyerahkan tikar dan bantal oleh orang tua pihak wanita kepada pasangan tersebut dan melalui A’i rala ditentukan saat pernikahan adat. Menyerahkan tikar dan bantal berarti mereka boleh tidur bersama setikar sebantal atau “te’e a tebu, lani a took”.

Nuka sa’o (pindah rumah).
            Pada tahap ini, orang tua wanita memberikan kepada pihak laki-laki berupa oba ragi, beka bola, te’e lani dan pora ka. Lalu gadis itu berangkat bersama-sam ke rumah keluarga si pria.
3
 
            Pihak yang menrima oba ragi di keluarga laki-laki adalah ine weta atau saudari si pria yang membawa kerbau, sapi dan kuda. Sedangkan yang membawa kambing, anjing diberi bhaco lama atau makanan berupa nasi dan daging.
Lasa la’e (Lihat kembali).
            Tahap ini, jika si wanita berada di rumah si pria selama empat malam. Pada tahap ini si gadis kembali ke rumah orang tuanya dan mengambil semua barang-barang miliknya untuk dibawa, pihak laki-laki membawa kambing dan anjing dibalas oleh pihak wanita yaitu babi dan beras.

Sanksi-sanksi perkawinan adat.
            Apabila terjadi pelanggaran maka sanksi yang diberi adalah jika yang bersalah pihak laki-laki, maka pihak laki-laki harus membayar semua barang yang diberikan oleh pihak perempuan tanpa harus meminta barangnya ataupun sebaliknya.

Kesimpulan Dari uraian di atas yang diangkat dari perkawinan adat nagekeo pada umunya,  ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1.      Perkawinan merupakan suatu unsur yang harus dijalankan oleh setiap manusia yang bebas memilih, tetapi harus memenuhi ketentuan-ketentuan dan norma-norma yang ada dalam masyarakat.
2.      Perkawinan merupakan persekutuan hidup.
3.      Harus ada kerja sama partisipasi dalam acara adat perkawinan agar dapat berjalan dengan baik dan sebagaimana mestinya.
4.      Menambah rasa persatuan dan kesatuan di antara sesama masyarakat dan antar suku.
5.      Menjalin kerja sama antar gereja dan adat setempat agar perkawinan berjalan dengan baik dan penuh iman dan cinta kasih.

Saran saya Berdasarkan uraian di atas kepada beberapa pihak :

1.      Masyarakat dan tua-tua adat, kiranya perkawinan adat yang masih bersifat pemborosan dikurangi.
2.      Kepada pemerintah supaya kebudayaan mengenai perkawinan adat tetap dilestarikan dan perlu kerja sama dengan toko masyarakat.
3.      Dalam hubungan dengan gereja, adat istiadat yang ada di dalam masyarakat dituntut agar dapat menyesuaikan diri dengan peraturan gereja yang bersifat monogami dan gereja menuntut agar perkawinan harus direstui oleh kedua orang tua belah pihak dan kedua saksi di depan pastor sebagai tanda yang sah dalam perkawinan gereja.


Terima kasih…


 





13 Sep 2012

RITUAL POTONG GIGI ADAT NAGEKEO


Melalui simbol-simbol upacara, pesan-pesan, ajaran-ajaran, nilai-nilai etis dan norma - norma yang berlaku dalam masyarakat dapat disampaikan kepada semua warga masyarakat. Bagi generasi muda hal ini perlu dihayati dalam mempersiapkan diri menjadi dewasa.
Dalam hubungan dengan upacara tradisioanal yang merupakan bagian integral dari kebudayaan, maka  dalam tulisan ini saya akan membahas upacara tradisional yang ada di  Kabupaten Nagekeo. Tulisan ini menyoroti salah satu dari upacara tradisional yaitu upacara Koa Ngi’i (potong gigi) yang umumnya dikenakan pada setiap wanita yang akan menginjak masa remaja dimana dengan upacara ini wanita tersebut dinyatakan telah dewasa dilihat dari segi adat..
Dalam hal ini lebih ditunjukan kepada wanita yang belum bekeluarga. Makna diadakannya upcara Ko’a Ngi’i adalah pengakuan dari masyarakat bahwa wanita ini telah sah dinyatakan dewasa secara adat. selain itu juga agar terhindar dari tuntutan adat atau hukuman dari hukum adat yang ada. Budaya Nagekeo menekankan bahwa untuk memasuki suatu perkawinan perlu ada persiapan baik biologis, ekonomi dan social. Bagi orang Nagekeo, seorang yang akan menikah haruslah orang yang sudah akil balig. Untuk menandakan seseorang sudah akil balik ada upacara “gedho logo” (sunat bagi anak laki-laki) dan “koa ngi’i” potong gigi bagi anak perempuan.
Khusus anak perempuan, bila belum potong gigi ternyata hamil maka menurut kepercayaan setempat akan menimbulkan kemarau panjang. Dan bila ada kemarau panjang kemudian ketahuan ada anak gadis yang hamil yang melanggar adat yang disebut “sala we’e ngi’i bha” (melakukan hubungan seks sebelum potong gigi) maka dia akan dipanggil (diteriaki) pada malam hari oleh orang dari kampung lain dengan menyebutkan nama orang yang bersalah dan mereka harus memotong kerbau sebagai denda adat agar hujan segera turun.
Upacara ini sangat menarik untuk dibahas karena dalam upacara tersebut banyak hal yang belum diketahui oleh masyarakat khususnya kaum muda sekarang ini. Hal-hal yang perlu diketahui oleh masyarakat khususnya kaum muda seperti kata-kata adat, alat-alat yang harus disediakan, siapa saja yang boleh ikut dalam upacara tersebut, waktu pelaksanaanya, tempat pelaksanaanya. Selain itu juga upacara Ko’a Ngi’i mulai pudar dengan masuknya budaya-budaya luar. Sadar akan pentingnya hal tersebut di atas maka penulis merasa perlu untuk mengangkat upacara “upacara Koa Ngi’i”.”koa ngii”, dahulu sangat ketat dilaksanakan tetapi sekarang ini jarang sekali orang melakukannya. Padahal ini penting untuk menandakan bahwa orang baru boleh menikah setelah siap secara biologis. Soal teknik potong giginya barangkali yang perlu disesuaikan dengan pertimbangan-pertimbangan kesehatan dan situasi zaman sekarang.
 Upacaranya sendiri sebenarnya harus tetap dijalankan, karena ada nilai yang mengajarkan seseorang baru berumah tangga setelah cukup umur, ada nlai-nilai budaya penghormatan terhadap lingkungan dan menghargai norma dan tata nilai adat yang baik.
  Pengaruh modernisasi, memang membawa perubahan dalam bebagai aspek kehidupan manusia. Bahwa modernisasi disebabkan karena adanya inovasi teknologi, urbanisasi dengan kontak kebudayaan luar sehingga merubah cara berpikir atau ide dan nilai dari metafisik kepositifan dan empiris serta rasional. Dengan kata lain perubahan ini mengandung impilikasi pada perubahan kebudayaan khususnya pada pelaksanaan upacara tradisional, dimana mereka mulai berpikir secara nalar dan rasional sehingga dapat membawa perubahan dalam melaksanakan upacara tradisional tersebut, mereka mulai mengatur hidupnya secara sistematis, rasional, praktis termasuk dalam usaha ekonomi. Hal ini berarti pelaksanaan upacara tradisonal mulai diperhitungkan dalam masalah biaya, waktu dan tenaga. Demikian pula upacara Koa Ngi’i yang akhir-akhir ini sudah mulai kurang dilaksanakan. Hal ini disebabakan karena dalam melaksanakan upacara tersebut membutuhkan banyak biaya seperti hewan kurban dan juga bahan-bahan lain yang dibutuhkan untuk kelancaran upacara tersebut.
“adat adalah aturan atau tata tertib yang dipakai untuk mengatur segala relasi antara manusia serta antara manusia dengan arwah para leluhurnya”. Dengan melihat kedua pendapat di atas maka didalam upacara Koa Ngi’i juga harus dilakukan dengan berbagai macam persiapan dan juga harus meminta do’a dari arwah para leluhur agar pelaksanaanya dapat berjalan dengan baik.

PROSES BERJALANNYA RITUAL KOA NGI'I..

Menjadi seseorang yang dikatakan dewasa memang diperlukan sebuah proses yang panjang, entah itu dimulai dari proses meningkatnya usia sampai sikap dan cara berpikir. Seperti di Kabupaten Nagekeo, kedewasaan seorang perempuan harus melalui sebuah proses adat.  Proses pendewasaan seorang perempuan harus melalui sebuah ritual potong gigi. ritual ini biasa dilakukan pada rentang usia pra remaja atau remaja, tergantung pada kemampuan orang tua anak. Ritual ini sebagai salah satu pelengkap dalam proses menuju jenjang pernikahan...


Sebelum menuju acara potong gigi, pihak keluarga harus melaksanakan sebuah ritual lagi yaitu, mengantar sesajian kepada leluhur. Sesajian biasanya terdiri dari nasi, daging, sirih pinang dan moke. Sesajian ini sebagai bentuk ucapan syukur kepada leluhur sekaligus memohon berkat untuk penyelenggaraan acara.




 wanita yang akan di potong gigi akan disuru berbaring dengan mengenakan kain adat setempat. Tidak lama kemudian, tidak lama kemudian seorang sebagai petugas potong gigi mendekat dan memegang rahang sang wanita sambil meminta untuk membuka mulut. 
 Sebuah batu asah kecil langsung ditancapkan ke gigi.biasanya kontan saja wajah meringis dan mengeluarkan rintihan menahan ngilu ketika batu asah tersebut digosok berulang-ulang kali.

 Setelah dirasa permukaan gigi telah rata, kemudian di serahkan untuk diobati. Disini pengobatan hanya mengandalkan ramuan ala kampung berupa buah pinang yang masih mentah. diharuskan mengunyah buah pinang tersebut beberapa kali sekedar menghilangkan rasa ngilu.
Inilah puncak dari semua rangkaian pendewasaan perempuan Kabupaten Nagekeo. Ritual ini mengandung makna bahwa anak tersebut telah dewasa dalam hukum adat. suatu saat jika sampai pada usia siap pinang, hukum adat sudah  merestui jika ada lelaki yang datang meminang,
Sebelum menuju ritual ini, pihak keluarga harus menjalani beberapa rangkaian acara adat. Malam sebelumnya, pihak keluarga maupun undangan akan melaksanakan tandak. Mereka mulai menari,  bernyanyi dan berpantun mengelilingi api unggun sambil berpegang tangan.




Syair-syair dalam irama tandak mengisahkan tentang arwah nenek moyang dan sejumlah ajaran-ajaran adat dalam kehidupan. Sesekali diselingi dengan pantun yang di ucapkan secara berbalasan dari kaum perempuan dan laki-laki. Isi pantun kadang bernada humor, yang mengundang gelak tawa dari para penonton. Untuk menambah semangat, seorang petugas akan terus menghidangkan sirih pinang dan moke, minuman khas nagekeo kepada para peserta tandak
Tidak lama kemudian, wanita yang akan potong gigi diboyong oleh orang tuanya untuk disertakan dalam tandak. Disini sang anak harus menggunakan busana adat dan menutup mulutnya dengan selempang. Selama mengikuti proses ini, anak tersebut senantiasa mendapatkan pengawasan dari pihak keluarga untuk tidak berkomunikasi secara langsung dengan siapa saja. Dalam acara tandak, sang anak hanya diberikan kesempatan lima kali berputar mengelilingi api unggun bersama peserta tandak yang lain. Kemudian kembali di boyong ke kamar untuk beristirahat. Acara tandak berlangsung non stop semalam suntuk. Seiring mentari terbit,  acara tandak pun bubar.



 Ketika tiba sampai puncak acara, sang anak dituntun keluar rumah oleh orang tuanya. Proses potong gigi harus dilaksanakan dirumah tetangga yang masih memiliki hubungan keluarga. Namun, sebelum rombongan menuju rumah tetangga, terlebih dahulu anak diberkati dengan sapaan adat oleh salah satu tetua adat. Sapaan adat diikuti dengan percikan beras sebanyak lima kali ke arah anak. Ritual pemberkataan ini di sebut “Resa Kuras”. Setelah itu, sang anak akan di ayun oleh ayahnya sebanyak lima kali diatas seekor babi yang diletakan di depan rumah. Pada hitungan yang kelima,  anak tersebut di ayun melewati babi dan siap berjalan menuju rumah tetangga tempat dilaksanakannya ritual potong gigi. Di rumah tersebut sudah menanti petugas potong gigi yang telah siap dengan sebuah batu asah kecil. Petugas ini harus berasal dari anggota keluarga.
Seluruh rangkaian acara ini boleh dibilang memerlukan biaya yang tidak sedikit. Biasanya jauh-jauh hari pihak keluarga sudah menyiapkan segala kebutuhan acara, mulai dari hewan sapi, kerbau, babi dan kambing yang siap di korbankan untuk makan bersama. Bagi orang tua anak, persiapan acara ini mungkin bisa tertolong dengan bingkisan-bingkisan yang di bawa oleh para undangan. Namun, pihak orang tua pun harus memikirkan untuk bagaimana membalas kembali bingkisan-bingkisan tersebut. Karena sudah menjadi tradisi,  pihak keluarga selaku undangan yang membawa bingkisan berupa tikar, bantal ataupun beras akan menerima balasan berupa kambing ataupun babi. Sebaliknya, yang membawa bingkisan babi ataupun kambing akan menerima balasan tikar ataupun beras.



Bagaimanapun, dibalik semua proses acara yang panjang dan membutuhkan biyaya yang tidak sedikit ini, terselip perasaan lega dan bangga. Setidaknya, tanggung jawab orangtua dalam hukum adat telah dilaksanakan,  walaupun secara ekonomis  biaya yang dikeluarkan cukup besar...

TAMBAHAN : ACARA POTONG GIGI ADA SEDIKIT PERBEDAAN ANTARA MASING-MASING DAERAH DI NAGEKEO YANG MENJALANKAN TRADISI INI, BEGITU PUN SEBUTAN ATAS RITUAL INI... ADA YANG MENYEBUTNYA KOA NGI'I UNTUK WILAYAH BOAWAE DAN  "Sorongi'is" UNTUK WILAYAH MAUPONGGO, SECARA UMUM PROSESNYA MEMPUNYAI KEMIRIPAN...

terima kasih semoga bermanfaat....




12 Sep 2012

RITUAL TINJU ADAT NAGEKEO (ETU)


BUDAYA TINJU ADAT (ETU) DIKABUPATEN NAGEKEO


Kebudayan pada dasarnya adalah hal yang ensiensi dalam kehidupan umat manusia.Sejalan dengan perkembangan pola pikIr dan sikap tindak tanduk manusia dimuka bumi ini maka kebudayaan sebenarnya merupakan suatu proses yang dinamis,dalam tata cara pergaulan masyarakat penduduknya.Akibat dari proses dinamika kebudaya itu tidak jarang terjadi pergeseran nilai dan normal yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.Kebudayaan adalah warisan social yang hanya  dapat diwariskan dari suatu generasi ke generasi yang lain dengan cara dipelajari dan bukan diturunkan secara biologis.kebudayaan hanya hanya dapat tumbuh dan berkembang apabila didukung oleh masyarakat sebagai pemilik dan pendukung kebudayaan tersebut.




Tinju Tradisional adalah sebuah olahraga tradisional yang mengandung tiga unsur yakni: Tinju itu sendiri, Tarian dan Nyanyian.Tinju dilaksanakan dihalaman kampung, dimana kita dapa melihat “PEO”, tiang tradisional, lambang persatuan dan kesatuan berdiri tegak diatas susunan batu. Alat tinju berupa kumparan tali ijuk berbentuk bulat lonjong yang disebut “TAI KOLO”. Tinju tradisional mempunyai nama yang berbeda bagi masyarakat kecamatan yang menyelenggarakan tinju tradisional.


Masyarakat kecamatan Boawae menyebut  “ETU”, masyarakat kecamatan Soa menyebut “SAGI” dan masyarakat Tadho di kecamatan Riung menyebut “MBELA”.
Etu adalah sebutan dalam etnis Nagekeo / Sagi adalah sebutan dalam suku Ngada merupakan atraksi tinju tradisional dengan manampilkan jago-jago dari kampung masing-masing untuk mengadu kekuatan dan ketangkasan masing-masing peserta. Atraksi ini berlangsung dalam arena yang dibuat di tengah kampung. Tiga hari sebelum pertandingan diadakan ritual adat memohon kekuatan untuk peserta tinju






Di Kabupaten Nagekeo, ada salah satu seremoni adat yang oleh masyarakat setempat dikenal dengan sebutan etu atau disebut mbela. Seremoni itu juga biasa dinamakan tinju adat. Walaupun aturan dan cara bertarungnya tidak sama dengan olahraga tinju yang sebenarnya, namun terdapat beberapa kemiripan. Tinju adat ini, bukan soal kalah atau menang melainkan pertarungan antar laki-laki untuk membuktikan kewibawaan dan harga diri laki-laki."Etu bisa dilihat sebagai salah satu olahraga tradisional yang menunjukkan kewibawaan laki-laki. Jadi etu merupakan ajang pembuktian kewibawaan dan harga diri laki-laki,"Kesamaannya dengan olahraga tinju "modern", tinju tradisional ini pun berlangsung di arena di tengah kampung.. Keduanya saling meninju. Hanya petinju etu tidak menggunakan sarung tangan. Hanya salah satu tangan petarung dililit sabut  kelapa yang disebut Kepo atau Wholet. Alat ini digunakan sebagai senjata untuk melumpuhkan lawan, bahkan sampai berdarah.Tidak ada ketentuan pasti dalam aturan ronde. Etu langsung saja dihentikan bila salah satu petarung jatuh atau mengeluarkan darah. Pada umumnya tinju adat ini berlangsung antara dua sampai lima menit, tergantung kekuatan masing-masing petarung.



Waktu Penyelenggaraan

            Upcara tinju tradisional atau etu dalam pelaksanaan masih berpedoman pada tradisi leluhur.adapun waktu pelaksanaan upacara khusud untuk masyarakat masih menggunakan peerhitungan atau patokan yang sama yaitu kelender adat setempat dengan bulan purnama.

Tinju tradisional dapat dilaksanakan pada bulan dan tempat sebagai berikut:
a)      Maret
Solo, kecamatan Boawae. Mengeruda kecamtan Soa.

b)      April
Piga, Kecamtan Soa.

c)      Mei
Lade, tarawaja, Kecamatan Soa. Nio, Masumeli, kecamatan Soa.

d)     Juni
Natanage, Kecamatan Boawae. Natalea, Raja Kecamatan Boawae. Takatunga, Sarasedu kecamatan Golewa.
e)      Juli
wulu kec.mauponggo ,Gero, Dheresia, Nunukae, Kecamatan Boawae. Tadho, Kecamatan Riung.


      PERSIAPAN DAN PERLENGKAPAN  UPACARA

 Dalam pelakasanaan upacara tinju tradisional atau etu bagi yang mengembang tugas harus mempersiapkan dua hal utama yang meliputi persiapan fisik maupun persiapan mental.yang dimaksud persiapan fisik,berwujud benda-benda dengan pelengkapannya yang diperlukan unntuk penyelenggaraan upacara.sedangkan pesiapan mental atau non fisikdalam bertanding anatar dua kumbung berwujut suatu tradisi yang selama ini dilaksanakan yaitu sikap dan perbuatan yang harus sportif menerima kekalahan saat melaksanakan baik sebelum dan pada saat berlangsungannya upacara tersebut.sebelum upacara etu dilaksanakan pihak penyelenggaraan melakukan pembagianpersiapan.langkah pertama dilakukan adalah penetapan tanggalupacara secara pasti,sehingga tidak menimbulkan keraguan bagi peserta.

            Setelah menetapkan tanggal maka acara persiapan ditunjukan pada penyenggaraan teknis uapacara dan penyambutan tamu yang diundang.pihak penyelenggaraan sebagai tuam rumah wajib mepersiapkan .

a)      Loka melo (arena) dengan membuat pagar keliling dan kedua sisi lebar,loka mmelo didirikanpondok  dengan perlengkapan melo (alat musik).pelengkapan melo terdiri dari bangku yang terbuat dari bambu dan sebatang bambu yang diletakan diatas tanah dan tongkat (dho melo)

b)      Kepo/alat tinju yang dibuat dari ijuk yang dipintal pada bagia ujung biasanya diberi benda keras seperti tanduk rusak (pada zaman duluh) dan kulit keba


    JALANNY UPACARA


Etu (tinju) tidak merupakan sebuah acara yang berdiri sendiri akan tetapi  merupakan puncak dari suatu rangkaian upacara yang panjang.Rangkai ini merupakan suatu kebutuhan dan tidak dapat dipotong-potong.

Etu (tinju) baru dapat berjalan apabila tahap-tahap upacara yang mendahuluinya telah terlaksanakan.jalan upacara tahap demi tahap

a)      Hedha Wewa

 Hedha wewa merupakan tahap awal upacarayang dilaksanakanempat hari sebelum upacara puncak etu (tinju).hedha wewa /menghentak halaman atau tempat upacara merupakan kegiatan/acara yang selalu dilakukan sebelu sampai pada puncak upacara.

Persiapan menyambut para tamumeliputi:beras,hewan (babi,ayam kambing) sayur dan moke.moke selain diminum pada saat  makan,juga merupakan minuman yang penting/pelengkap pada waktu jalan upacara.

b)      Malam Dero

Dero ini terus dilaksanakan dibawah wula gelu lera (bulan mengantikan matahari artinya matahari berusan terbenam di ufuk barat dan langit masih kemerahan,pada saat yang sama langi di ufuk timur pu merah dan munculah bulan purnama penuh) pada umumnya masyarakat sudah tahu apa yang terjadi malamini sehingga segala urusan segera  dibereskan dan mereka berbondong menuju arena untuk mempersiapkan acara malam dero yakni tandak  sepanjang malam dibawah terang bulan.para petugas memasang api unggu,bergendangan tangan dan mulai menyanyi .pada sekitar pukul 19:30 orang sudah mendekat lapangan upacara.acara malam dero ini diawali dengan etu (tinju) sebagai pengisi waktu atau pemanasan yang biasanya dilakukan oleh anak-anak atau mereka yang baru belajar.

Tinju di hari kedua ini diidentikkan dengan etu atau mbela yang sebenarnya. Petarungnya pun merupakan utusan dari daerah-daerah tertentu. "Kekuatan seorang laki-laki, bisa dilihat saat etu berlangsung. Yang lebih kuat pasti dia yang menang. Yang menang dinilai punya kewibawaan lebih Walaupun memiliki makna yang sama, ada beberapa istilah dan kemasan acara yang berbeda antara satu suku dengan suku lainnya di Nagekeo dalam menyelengarakan tinju adat atau etu ini. Etu dipimpin wasit, atau seka, dalam istilah setempat. Ada dua sampai tiga orang seka/pelerai. Selain wasit, ada petugas yang disebut sike yaitu yang bertugas untuk mengendalikan para petarung agar tidak membabibuta menyerang dan melukai lawannya. Sike/pemegang  bisa dengan mudah melaksanakan tugasnya karena memegang ujung bagian belakang sarung yang dikenakan petarung. Jadi begitu petarunnya macam-macam, sike hanya menarik saja ujung kain menjauhkan petarung

Ada juga petugas lain yang disebut pai etu atau bobo etu. Petugas ini bertugas untuk mencari petarung berikutnya yang ada di sekitar arena pertarungan. Atau siapa yang berniat bertinju, dia langsung lapor saja ke pai etu yang akan mengatur jadwal pertandingannya. Petugas ini bisa terdiri dari dua orang atau lebih. Ada juga yang dinamakan mandor adat, tugasnya adalah mengawasi penonton yang berada di luar arena agar tidak masuk ke dalam arena. Mandor adat ini terdiri dari dua sampai empat orang.. 


   KESIMPULAN

Dalam hal ini, masyarakat nagekeo sendirilah yang diharapkan memberikan sumbangan yang paling besar terhadap upaya pengembangan dan pelestarian budayanya. Hal ini didasarkan padapemikiran bahwa masyarakat  nagekeo yang seharusnya paling tahu dan paham terhadap budayanya. Semoga dapat bermenfaat bagi semua pihak yang membacanya. Kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diperlukan dalam rangka perbaikan
.
    REKOMENDASI

Diadakan kegiatan tinju adat ini bertujuan untuk meningkatkan rasa solidaritas sosial antara warga masyarakat baik dalam satu klen dan warga masyarakat dari kampung tetangga, untuk menghormatin pewaris kebudayaan yang turunkan oleh leluhur dengan segala prestise dan keindahan, sebagai Pencetus sifat-sifat para leluhur yang telah menciptakan etu, sebagai kesenian ,olaraga dan rekreasi, untuk menjadi salah satu atraksi budaya yang dapat dinikmati wisatawan baik dalam negeri maupun luar negeri serta untuk mengetahui  bagaiman jalannya upacara tinju.







 



Pages

Template by : kendhin x-template.blogspot.com