Pages
WELCOME TO MY LIFE
Entri Populer
-
Kamera tembus pandang atau software tembus pandang, alat yang satu ini membuat banyak orang penasaran. Lensa kamera yang bisa meli...
-
Tiga orang tukang peminum lagi duduk-duduk di pak laru sambil bacarita dong pung daereah masing-masing pung kehebatan. Satu eja Flores, satu...
-
Jalan setapak rumah pak dede, lorong disinggah si tukang jamu, rindu di hati hanya ke ade,, kapan katong bisa katumu.. Api unggun di te...
-
HANYA LU YANG BETA PUNYA Laki bini ada bakalai. Bini: "Kanapa sonde bilang dari dulu kalo lu ini miskin hah??!!" Laki: ...
Category
- ADAT DAN BUDAYA (34)
- AYAH (4)
- BERBAGI CERITA (43)
- CURHAT (47)
- DEAR CICI (2)
- EXPRESI GILA (3)
- HATI DAN PERASAAN (73)
- IBU (1)
- INFO ITU ILMU (12)
- INFORMATIKA (11)
- JOS EXPLORER (6)
- KAMPUNG HALAMAN (9)
- KOPI PERTAMA (2)
- KUPANG (12)
- KUPANG PUNG LUCU-LUCU (10)
- MALAM MINGGU (4)
- MAUPONGGO (23)
- MOTIVASI DAN INSPIRASI (19)
- NAGEKEO (22)
- NASIB ANAK KOST (2)
- OM JOS (3)
- PHOTOGRAPH (3)
- REQUEST (2)
- SAHABAT (5)
- SEPUTAR KAMPUS (2)
- WITH MY STYLE (29)
ABOUT ME
- Jos Inf
- KUPANG, NTT
- Banyak hal telah aku pelajari selama menjalani kehidupan ini, kesimpulannya: tidak gampang memang. it's so hard. berawal dari sebuah desa kecil di flores, aku melebarkan sayapku menuju kupang, sebuah kota yang menjanjikan segalanya hmm.. Katanya sih.. Anda tidak akan menemukan apa-apa dalam blog ini, krn blogg ini saya hny mempersembahkan curahan hati (saya lihat, saya rasa, dan saya dengar ) serta segala yang sy punyai, karena tidak cukup dngn berteriak dan sy bkn tipe orang yg biasa menceritakan masalah sy ke orang lain.. Dan hny blog ini tempat sy mengeluarkan semua unek-unek saya.. Berharap ada orang lain yg mau peduli dan berbagi...
Tampilkan postingan dengan label NAGEKEO. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label NAGEKEO. Tampilkan semua postingan
14 Agu 2015
KEWAJIBAN DALAM BUDAYA MAUPONGGO (TI'I PATI)
Berita kematian, pemberitahuan tentang kegiatan adat seperti pernikahan, bangun rumah, pesta-pesta baptis dan terutama komuni pertama, semuanya bukan sekedar berita dan informasi biasa. Tetapi semua informasi yang berujung pada kewajiban. Hidup di kampung bukan menjadi urusan sendiri. Hidup itu sosial. Terikat dengan yang lain. Selalu bersama dengan orang lain. Pada saat seorang bermasalah, jangan takut, karena ada orang lain ikut merasakan dan selalu siap ringan tangan membantu. Demikian juga sebaliknya seorang berkewajiban menolong yang lain. Ada hubungan timbal balik.... Kata ti’i pati berarti memberi dan berbagi. Ti’i pati yang berkaitan dengan adat adalah wajib. Itu adalah tidak saja menjadi ungkapan kasih tetapi juga merupakan bentuk demonstrasi harga diri. Ti’i pati dalam adat mauponggo tidak akan pernah berhenti, terus berjalan selama hidup dalam masyarakat. Budaya ti’i pati yang berkaitan dengan adat suatu yang abadi, dan tidak berubah. Hukumnya wajib. Tidak pernah ada toleransi pada kondisi miskin atau kaya. Karena semua manusia sama di depan hukum adat. Hukum adat sebagai tradisi selalu berkaitan dengan ti’i pati. Hal ini merupakan kewajiban yang tidak bisa ditolak. Tradisi adat adalah warisan leluhur. Melanggar adat berarti mencederai hukum sama artinya dengan mengucilkan diri dari pergaulan masyarakat adat. Sebagai perbuatan memberi dan berbagi, orang mauponggo tahu apa yang terbaik dilakukan demi harga diri. cengkeh, kakao, , dan kopra hanya cerita. uang hasil panen hanya numpang lewat. Semua hasil jerih payah habis untuk melunaskan utang adat...
4 Okt 2014
SUKU LAPE (mbay_nagekeo)
WILAYAH TANAH LAPE
Orang
Lape mengakui batas tanah mereka sebelah timur Ulu tana li, lange
Toto (di tanah li berbatasan dengan Toto) dan di bagian barat eko kela
ngeta lange Bare, berbatasan dengan Bare. Sebelah selatan logo be’I
keli di Amegelu (gunung Lambo) dan ujung utara a’I deli mesi (sampai ke
bibir pantai )laut Flores.
ASAL USUL ORANG LAPE
Tidak
ada catatan yang pasti.Tetapi orang Lape mewariskan cerita turun
temurun Hitungan bisa diperkirakan dari masa tegaknya peo. Dengan
adanya 7 (tujuh) kali mendirikan Peo, maka diperkirakan orang Lape
sudah menghuni tempat ini sekitar 500 tahun. Menurut cerita turun
temurun orang Lape berasal dari Tiwu Lewu, satu daerah di wilayah Lio
Utara yang berubah menjadi danau (tiwu) akibat banjir bandang yang
melanda sampai menenggelamkan rumah-rumah penduduk. Tujuh keluarga
besar melarikan diri, mengungsi ke arah barat.Mereka pertama kali
menetap di Malasera, , bukit sebelah timur gereja Danga, dekat lokasi Perumahan jabatan sekarang.
Orang
Lape kemudian pindah ke tempat yang lebih tinggi. Perpindahan itu
berawal dari sebuah peristiwa alam. Dari kejauhan ada yang melihat air
mengucur dari atas sangat banyak. Ada yang menyangka seperti air
terjun. Mereka akhirnya bergerak kesana. Ternyata yang menjadi sumber
air adalah tetesan air dari mayang pohon lontar. Mereka kemudian
membangun pemukiman sederhana di dekat sebuah rumpun bamboo aur (guru
pire).
Suatu
ketika seekor ayam jantan piaraan mereka berlari ke suatu tempat dan
hinggap di atas pohon waru. Ayam itu terus bertengger di sana dan
mengeluarkan suara kokok yang aneh seolah-olah mengatakan ‘mai dia’
(mari kesini). Suara kokok berulang-ulang ini ditafsrikan sebagai
penggilan bagi orang Lape untuk bergerak dan pindah. Dan kemudian mereka
menemukan tempat tersebut sangat ideal sebagai lokasi aman untuk
kampung. Lokasi ini dirasa aman karena berada di tempat yang tinggi
dengan sedikit bertebing sebelah timur. Inilah lokasi kampung Lape
tempat mereka menetap sampai sekarang.
Ketujuh
keluarga besar itu akhirnya menetap di kampung Ola Lape, yang mereka
sebut juga Ola Waja. Sebuah kampung yang tidak sekedar tempat tinggal,
tetapi juga memiliki daya magis mempersatukan ketujuh keluarga besar
itu.
Tujuh suku Lape adalah:
Tujuh suku Lape adalah:
1. Suku Ko dengan kepala soma Laga Tawa
2. Suku Naka Nawe dengan kepala soma Jo Pobo
3. Suku RogaWawo dengan kepala soma Goa Wonga
4. Suku Roga Au dengan kepala soma Ru Wona
5. Suku Nakazale dengan kepala soma Wawo Buu Tawa
6. Suku Woe Renge dengan kepala soma Hanoy
7. Suku Naka Zale Au dengan kepala soma Ala Wula
Ketujuh
suku ini dipersatukan dengan membangun Peo. Dalam sejarahnya suku Lape
telah mendirikan 7 (tujuh) Peo. Dalam menjalankan aktivitas besar
orang Lape selalu bersandar pada leluhur mereka. Mereka selalu berdoa
dan minta petunjuk pada leluhur mereka. Terutama dalam membangun Peo.
Peo dibangun selalu berdasarkan petunjuk leluhur yang dihadirkan dalam
mimpi. Orang Lape memberi nama peo setiap kali mereka dirikan.
Nama Peo dan nama warga yang mendapat petunjuk untuk mendirikan peo sebagai berikut:
Nama Peo dan nama warga yang mendapat petunjuk untuk mendirikan peo sebagai berikut:
1. Peo LILA ULU atasdasarpetunjukmimpi kepada Ebu SabuTawa
2. Peo WOY TEY atas dasar petunjuk mimpi kepada Ebu PukuTey
3. Peo WANGA WEA atas dasar petunjuk mimpi kepada Ebu Sera Tey
4. Peo NAGO NUA atas dasar petunjuk mimpi kepada Ebu Busu Lama
5. Peo PANGO MAU atas dasar petunjuk mimpi kepada Ebu Sawu Gamo
6. Peo WONGA WULA atas dasar petunjuk mimpi kepada Ebu Kota Lama
7. Peo SUPI LAPE atas dasar petunjuk mimpi kepada Ebu Papu Bara
Dasar Belis (NageKeo)
Setiap suku memiliki adat dan budaya serta peraturan yang tertuang dalam hukum adat berbeda-beda. Dalam adat dan budaya Indonesia umumnya dan Nagekeo khususnya, pengikatan janji sehidup semati dalam perkawinan secara hukum adat dipahami mengandung dampak kerugian bagi pihak wanita secara pribadi dan keluarganya. Makanya pihak lelaki mempunyai kewajiban untuk memberikan ganti atau kompensasi atas kerugiaan ini. Kompensasi ini yang disebut dengan mahar atau mas kawin.
Mahar atau Mas kawin adalah harta yang diberikan oleh pihak mempelai laki-laki (atau keluarganya) kepada mempelai perempuan (atau keluarga dari mempelai perempuan) pada saat pernikahan. Mahar aatau mas kawin ini dikenal dengan istilah belis atau dalam bahasa Nagekeo ‘tau ngawu’. Ngawu berarti benda atau harta.
Sebaliknya bila pemberi mahar adalah pihak keluarga atau mempelai perempuan, sebagai imbalan atas pemberian pihak lelaki disebut dengan istilah sundo bhando (beri balasan) Secara antropologi, belis atau tau ngawu adalah bentuk lain dari transaksi jual beli sebagai kompensasi atas kerugian yang diderita pihak keluarga perempuan karena kehilangan beberapa faktor pendukung dalam keluarga seperti kehilangan tenaga kerja, dan berkurangnya tingkat fertilitas dalam kelompok.
Bicara tentang kompensasi atas kerugian dilihat dari dua sisi:
Keluarga: kehilangan faktor pendukung tertutama kehilangan tenaga kerja serta tingkat kesuburan (fertilitas) dalam kelompoknya). Ada sesuatu yang diambil dari haknya.
Bagi wanita secara pribadi adalah seolah merelakan diri dan melepaskan semua harga dirinya. Bahkan dianggap kehilangan harga dirinya akibat ulah mempelai laki-laki terhadap mempelai perempuan. Kehadiran seorang lelaki dalam kehidupan pribadi wanita dianggap seperti manu kale kata (ayam yang mengais dan mengacak sangkar) dan melakukan tindakan merusak ibarat topo kai kaja (parang yang membelah dan merusak dinding). Wanita mengorbankan harga diri dan menderita, karena itu pihak lelaki juga harus memberikan jenis mas kawin yang disebut dengan Wea Solo. Wea Solo adalah emas perhiasan sebagai penghibur (solo) atas penderitaannya.
Tentang MosaLaki (Nagekeo)
Mosalaki (mosadaki) itu adalah gelar yang diberikan pada seorang lelaki di Nagekeo, tapi tidak semua orang laki-laki disebut mosadaki. Mosadaki (mosalaki) berasal dari kata mosa (jantan dan besar) dan daki atau laki (jenis kelamin laki). Seorang mosadaki sesungguh memiliki sifat kejantanan itu. Seorang mosadaki memiliki keberanian dan kesatriaan. Dia harus mampu membela dan melindungi. Karena itu dalam berbagai urusan adat terutama pada saat menghadapi masalah, seorang mosadaki berada di depan dan menjadi seorang organisator dan pemimpin kelompoknya.
Mosa tana laki watu
Mosalaki selalu dikaitkan dengan tanah dan kepemilikannya. Ketokohan mosalaki karena statusnya sebagai pemilik tanah atau tuan tanah. Karena itu mosalaki disebut mosa tana laki watu. Sebagai pemilik maka mosalaki memiliki otoritas dalam urusan adat dan urusan tanah.Dilihat dari sisi ini maka mosalaki sesungguhnya dilahirkan. Seorang menjadi mosalaki karena berasal dari turunan mosalaki, seorang pemilik tanah. Dia adalah putera seorang mosalaki. Mosalaki adalah putera pilihan, bukan hanya karena seorang anak mosalaki. Putera seorang tuan tanah atau mosalaki belum tentu menyandang panggilan mosalaki. Karena seorang mosalaki memiliki kriteria atau atribut lebih. Memiliki jiwa yang satria dan jiwa kepemimpinan (waka nga).
Ine tana ame watu:
Mosalaki sebagai pemilik utama tanah disebut juga dengan ine tana ame watu. Mosalaki kelas ini adalah putera turunan langsung dari pemilik sebuah wilayah atau yang disebut pula sebagai ta ngala ngga’e (pemilik) atau ta ngala tanah watu (pemilik tanah).
Ine ku ame lema:
Dalam skala yang lebih kecil ada penguasa sebahagian tanah garapan (ku lema). Pada masa lalu tanah-tanah masih kosong. Siapa saja dalam suku yang mengolah tanah diakui sebagai pemilik lahan (ku lema). Pemilik lahan dalam skala kecil disebut ine ku ame lema. Karena meraka masih dalam garis keturunan pemilik tanah maka kewenangan dan kepemilikannya diakui sebgai tuan tanah dalam skala yang terbatas. Mereka tetap tunduk pada Ine tana ame watu. Pengakuan ku lema (lahan olahan) berdasarkan pada kondisi lahan yang sudah penuh dengan tanaman ekonomis berupa tanaman kelapa (nio) dan pinang (eu). Orang Keo selalu menanam pohon-pohon tanaman jangka panjang bernilai ekonomis ini pada pinggir-pinggir batas tanah olahan. Pengakuan kepemilikan atas lahan olahan berdasarkan kondisi nio tiko eu tako (daun pohon kelapa dan pinang saling bersambungan di sekitar lahan).
Tuka babho
Seorang mosalaki harus mampu memimpin dan mempengaruhi orang lain. Seorang mosalaki harus memiliki kemampuan menjadi tuka mbabho (juru runding). Sebagai juru runding (tuka mbabho) seorang mosalaki harus memiliki kemampuan untuk mendengar, menganalisa serta mencari kesimpulan untuk mencari solusi.
Tuka mere kambu kapa
Karena itu seorang mosalaki harus memiliki tuka mere kabu kapa. Tuka mere kabu kapa adalah sebuah istilah yang menjelaskan sifat seorang mosadaki harus sabar dan memiliki daya tahan. Dia harus memiliki tuka mere (perut besar) untuk mampu menerima masukan dan kambu kapa (lilitan lemak tebal) agar siap menampung dan menahan segala emosi. Semua ucapan dan tindakan seorang mosadaki harus memiliki dasar yang jelas dan melewati pertimbangan yang matang.
Mosa tuka tiba laki mata laci
Seorang mosadaki adalah seorang juru runding yang bijaksana dan adil. Seorang mosalaki adalah mosa tuka timba daki mata daci. Dia harus mampu menimbang secara benar dan seimbang (adil) seperti pertemuan dua mata timbangan. Setiap keputusan mosadaki harus tidak memihak. Harus memperlihatkan dan mendahulukan keadilan.
Mosalaki pongga rore mosalaki
Seorang mosalaki bukan sekedar pemimpin, tetapi juga seorang yang punya semangat berkorban. Masyarakat tidak menghargai mosa tungga ko’o punu (mosadaki yang hanya tahu bicara), karena mosadaki harus mosa ne’e odo tau (mosa dalam tindakan). Masyarakat menilai mosadaki yang hanya tahu bicara tetapi tidak pernah berbuat sebagai mosa ka daki pesa (mosadaki yang hanya tahu makan atau menikmati).
Mosa nua laki ola
Mosalaki sebagai tan ngala mbu’u atau ta ngala tana watu (tuan tanah) dia menjadi mosa nua laki ola (pemuka dalam kampung). Mosa nua laki oda bukan tunggal tetapi semua orang-orang terpandang karena keturunan dan kepemilikan atas lahan serta pengaruh karena charisma-kharsima istimewa. Mereka ini yang memiliki hak suara dan pengambil keputusan dalam urusan adat serta tanah.
Mosa ulu mere eko lewa
(adapun kesalahan penulisan dalam bahasa daerah (bahasa adat) mohon dikoreksi bersama.. segala tambahan mengenai adat istiadat Negekeo sangat diharga dan diterima... terima kasai)
molo............
Mosalaki selalu dikaitkan dengan tanah dan kepemilikannya. Ketokohan mosalaki karena statusnya sebagai pemilik tanah atau tuan tanah. Karena itu mosalaki disebut mosa tana laki watu. Sebagai pemilik maka mosalaki memiliki otoritas dalam urusan adat dan urusan tanah.Dilihat dari sisi ini maka mosalaki sesungguhnya dilahirkan. Seorang menjadi mosalaki karena berasal dari turunan mosalaki, seorang pemilik tanah. Dia adalah putera seorang mosalaki. Mosalaki adalah putera pilihan, bukan hanya karena seorang anak mosalaki. Putera seorang tuan tanah atau mosalaki belum tentu menyandang panggilan mosalaki. Karena seorang mosalaki memiliki kriteria atau atribut lebih. Memiliki jiwa yang satria dan jiwa kepemimpinan (waka nga).
Ine tana ame watu:
Mosalaki sebagai pemilik utama tanah disebut juga dengan ine tana ame watu. Mosalaki kelas ini adalah putera turunan langsung dari pemilik sebuah wilayah atau yang disebut pula sebagai ta ngala ngga’e (pemilik) atau ta ngala tanah watu (pemilik tanah).
Ine ku ame lema:
Dalam skala yang lebih kecil ada penguasa sebahagian tanah garapan (ku lema). Pada masa lalu tanah-tanah masih kosong. Siapa saja dalam suku yang mengolah tanah diakui sebagai pemilik lahan (ku lema). Pemilik lahan dalam skala kecil disebut ine ku ame lema. Karena meraka masih dalam garis keturunan pemilik tanah maka kewenangan dan kepemilikannya diakui sebgai tuan tanah dalam skala yang terbatas. Mereka tetap tunduk pada Ine tana ame watu. Pengakuan ku lema (lahan olahan) berdasarkan pada kondisi lahan yang sudah penuh dengan tanaman ekonomis berupa tanaman kelapa (nio) dan pinang (eu). Orang Keo selalu menanam pohon-pohon tanaman jangka panjang bernilai ekonomis ini pada pinggir-pinggir batas tanah olahan. Pengakuan kepemilikan atas lahan olahan berdasarkan kondisi nio tiko eu tako (daun pohon kelapa dan pinang saling bersambungan di sekitar lahan).
Tuka babho
Seorang mosalaki harus mampu memimpin dan mempengaruhi orang lain. Seorang mosalaki harus memiliki kemampuan menjadi tuka mbabho (juru runding). Sebagai juru runding (tuka mbabho) seorang mosalaki harus memiliki kemampuan untuk mendengar, menganalisa serta mencari kesimpulan untuk mencari solusi.
Tuka mere kambu kapa
Karena itu seorang mosalaki harus memiliki tuka mere kabu kapa. Tuka mere kabu kapa adalah sebuah istilah yang menjelaskan sifat seorang mosadaki harus sabar dan memiliki daya tahan. Dia harus memiliki tuka mere (perut besar) untuk mampu menerima masukan dan kambu kapa (lilitan lemak tebal) agar siap menampung dan menahan segala emosi. Semua ucapan dan tindakan seorang mosadaki harus memiliki dasar yang jelas dan melewati pertimbangan yang matang.
Mosa tuka tiba laki mata laci
Seorang mosadaki adalah seorang juru runding yang bijaksana dan adil. Seorang mosalaki adalah mosa tuka timba daki mata daci. Dia harus mampu menimbang secara benar dan seimbang (adil) seperti pertemuan dua mata timbangan. Setiap keputusan mosadaki harus tidak memihak. Harus memperlihatkan dan mendahulukan keadilan.
Mosalaki pongga rore mosalaki
Seorang mosalaki bukan sekedar pemimpin, tetapi juga seorang yang punya semangat berkorban. Masyarakat tidak menghargai mosa tungga ko’o punu (mosadaki yang hanya tahu bicara), karena mosadaki harus mosa ne’e odo tau (mosa dalam tindakan). Masyarakat menilai mosadaki yang hanya tahu bicara tetapi tidak pernah berbuat sebagai mosa ka daki pesa (mosadaki yang hanya tahu makan atau menikmati).
Mosa nua laki ola
Mosalaki sebagai tan ngala mbu’u atau ta ngala tana watu (tuan tanah) dia menjadi mosa nua laki ola (pemuka dalam kampung). Mosa nua laki oda bukan tunggal tetapi semua orang-orang terpandang karena keturunan dan kepemilikan atas lahan serta pengaruh karena charisma-kharsima istimewa. Mereka ini yang memiliki hak suara dan pengambil keputusan dalam urusan adat serta tanah.
Mosa ulu mere eko lewa
(adapun kesalahan penulisan dalam bahasa daerah (bahasa adat) mohon dikoreksi bersama.. segala tambahan mengenai adat istiadat Negekeo sangat diharga dan diterima... terima kasai)
molo............
Kain Tenun Nagekeo (Luka Bay)
Di Nagekeo berkembang dua macam proses tenun. Proses pete (ikat) dan proses wo’i (sulaman). Pete dan wo’i adalah cara membuat pola pada bahan tenun. Luka bay (ragi bay) sebutan kain adat dimaupongo..
Ketika belum ada zat pewarna kimia, orang
kampung menggunakan tanam perdu yang disebut tarum (talu dalam bahasa
Mau) atau taru dalam bahasa Ende. Tarum menghasilkan warna biru. Caranya
mudah saja. Daun-daun tarum (talu/taru) bersama tangkai-tangkai kecil
direndam beberapa hari dalam wadah.Wadah
terbuat dari tanah liat berbentuk periuk tetapi dengan bukaan yang
lebar. Karena itu bila tidak ada, orang menggunakan periuk tanah yang di
pecah bagian atas. Bukaannya harus lebar untuk leluasa memasukkan
material yang yang akan diwarnai. Benang yang telah diikat sesuai dengan
pola yang dinginkan kemudian direndam minimal 2 hari dalam periuk
berisis tarum.
Saya sendiri belum pernah menyaksikan
bagaimana warna hitam dihasilkan oleh para penenun tradisional di
wilayah Boawae. Di wilayah ini dikenal dengan hoba nage, atau orang
pantai menyebutnya dawo pote. Ciri bahwa kain itu masih baru dengan
adanya ujung benang lusi dibarkan terurai dan di pilin. Di pesisir
selatan di wilayah Maubare, Daja, Mauromba dan Maundai semua mencelup
benang dalam larutan tarum. Bau rendaman tarum mengeluarkan bau basi,
yang lumayan bisa bikin mabuk bagi yang tidak biasa. Kalau tarum untuk
warna hitam atau biru, maka warna terang yaitu warna kuning diperoleh
dari kembo atau kaju kune. Kembo atau kaju kune adalah pohon mengkudu.
Dan yang digunakan adalah akar pohonnya dan terkadang dahan atau batang
pohonnya. Kayu-kayunya di dibelah dan dipotong kecil kemudian direbus
dan direndam bersama benang.Hasilnya warna kuning kemerahan atau
jingga.
Keterbatasan mendapatkan zat warna ini
yang membuat semua hasil tenun Nagekeo selalu berwarna hitam dan kuning
saja. Itulah zat warna yang ada dan biasa dipakai. Karena berlangsung
puluhan tahun, maka dianggap sebagai ciri khas tradisi seni tenun.Tenun
ikat pantai selatan disebut dawo ende. Ini merujuk asal dari kebiasaan
ikat dan pewarnaan benang serta tenun. Ini tenun khas berasal dari Ende.
Dan tenun ikat untuk dawo ende ini hanya ibu-ibu yang beragama Islam.
Tenun woi tradisi asli orang Nagekeo.
Kami mengadakan pendekatan dengan penenun
di Maundai untuk coba mengembangkan tenun ikat. “Repot sekali” demikian
katanya. Proses tenun ikat memang jauh lebih rumit. Karena benang lusi
harus dibuat pola dengan mengikat kemudian dicelup dalam larutan
pewarna. Tetapi tenun ikat bisa lebih luwes dalam mengaplikasi pola.
Karena itu tidak heran bila di Daja, Mauromba dan Maundai tidak pernah
lagi tercium aroma endapan tarum. Dan tentu tidak ada lagi orang yang
menenun dawo ende. Semuanya didatangkan dari luar Nagekeo. Tidak ada
yang melihat ini sebagai peluang usaha. Ibu-ibu di pantai selatan lebih
banyak mengenakan dawo ende, tetapi semuanya berasal dari kabupaten
Ende. Pemerintah daerah harus punya kiat sendiri untuk menghidupkan
kembali kerajinan tenun ikat (pete senda) di wilayah kabupaten Nagekeo,
khususnya di wilayah Keo Tengah (Daja, Mauromba dan Maundai serta
Maunori) dan Nagaroro ( Maunura, Maubare, Tonggo, Pombo). Ini juga
salah satu cara mengurangi ketergantungan suplai kain sarung dawo ende
dari Ende dan Pulo.
2 Jun 2013
Perempuan Negekeo Itu EMAS
Wanita Nagekeo Wanita Emas..begitu
saya ibaratkan wanita dari negri yang satu ini..
Wea, emas dan mas kawin..
Kita tahu dengan pasti berharganya
sebuah emas, tidak semua orang dapat membelinya..
Tidak gampang untuk dapat
memilikinya. Tapi terkadang emas-emas itu lupa akan harga dirinya, tidak kuat godaan
lalu melebur dalam bara api perkotaan.. padahal emas dibentuk dari panas bahkan
sangat panas… dan harganya pun naik..
Kumpul Kebo atau be’o Me’a,
Nggesu Nggomi adalah pernikahan melalui jalan pintas. Ini
dianggap sebuah pernikahan yang hanya diketahui pasangan saja (be’o
me’a). Seorang lelaki mendatangi kosan wanita atau sebaliknya kemudian hidup
bersama tanpa sepengetahuan orang tua. Pernikahan cara ini semakin
popular saat ini dikalangan mahasiwa/i,alasan yang logis sebagai satu cara menghindari hukum adat
perkawinan yang rumit dan memakan biaya (alasan versi_penulis). Sejak
orang nagekeo mengenal Gereja Katolik, perkawinan ini sebut dengan kawin
kampung. Sebuah pernikahan yang belum disahkan secara agama. Sebaliknya
bagi keluarga nagekeo yang beragama islam, mereka tidak melakukan
pernikahan cara ini. Mengingat hampir semua pernikahan islam di Nagekeo tidak
menuntut belis (atau mas kawin). Karena hukum agama, mereka selalu
meresmikan pernikahan secara agama, dengan cara sederahana sesuai dengan
keadaannya.
Suatu saat kelurga wanita akan tau
juga, dan anda yang sudah terlanjur “kumpul Kebo”/be’o me’a” harus
mempersiapkan diri.
“kumpul Kebo”/be’o me’a tidak
menuntut belis (mas kawin) yang banyak. Pemberian mas kawin sebagai bukti
dukungan orang tua pihak laki-laki mendukung atau dalam bahasa daerah disebut
dengan ‘pela nia pa ngara ‘(tunjuk muka dan memperjalas nama keluarga).
Biasanya dilakukan pada saat wanita sudah hamil.
Belisnya hanya diberikan
a.
Jara pa nia (seekor kuda sebagai
tanda perkenalan dan kehadiran orang tua).
b. Weki mere jaga dewa penghargaan atas orang tua yang telah
membersarkan sampai bertumbuh besar dan tinggi (weki mere, jana
dewa). Pemberian ini juga disebut ut Ine Dhadhi, bapa mesu (ibu yang
melahirkan dan bapa yang mengasihi).
c.
Penghargaan kepada ebu mame
(paman). Orang Nagekeo selalu menempatkan paman (saudara ibu pengantin
wanita) sebagai ranking atas (ape wawo). Setiap upacara adat selalu mendapat
penghormatan istimewa.
#molo sama te
24 Sep 2012
TAHAP-TAHAP PERKAWINAN ADAT BUDAYA NAGEKEO
Proses adat
perkawinan nagekeo, sebelum pasangan naik ketahap perkawinan gereja, pasangan yg hendak menikah, dituntut untuk melewati proses adat yang panjang, dan pengeluaran yang tidak sedikit ........
Zaman sekarang (modern) ini, upacara perkawinan
adat atau adat istiadat perkawinan semakin memudar, hal ini disebabkan globalisasi
informasi teknologi dan komunikasi sehingga kebudayaan asing (westernisasi) yang masuk ke wilayah kita
masing-masing dengan tidak adanya penyaring (filter) mana yang baik dan yang tidak.
Upaya melestarikan
kebudayaan local khususnya adat perkawinan perlu mengikuti tahap-tahapan adat
sesuai dan benar namun disederhanakan sesuai keadaan sekarang. Pertanyaanya: apa
yang terjadi sekarang? Banyak dikalangan muda yang melanggar dan mengabaikan
tahap-tahap perkawinan adat.
Melihat keadaan di atas
penulis terpanggil untuk menuliskan proses perkawinan adat yang dilaksanakan Kabupaten Nagekeo guna memenuhi rasa ingin tau dengan tujuan Memenuhi
Menambah wawasan dan pengetahuan proses perkawinan adat dan tahapan-tahapannya
perkawinan adat nageken dan
Berikut proses tahap-tahap ritus adat
perkawinan budaya nagekeo
Ale Ngale
Ale
Ngale menurut adat nagegeko adalah proses orang tua dan keluarga laki-laki
menemui orang tua dan keluarga wanita bertujuan untuk meminang anak gadis menjadi
tunangan. Pada tahap ini, pihak orang tua dan keluarga laki-laki mengungkapkan
niat mereka (ale ngale) dengan bahasa adanya sebagai berikut:
“Seu
ana wawi ta moka“ jika lamaran diterima,
pihak wanita akan membalas dengan bahasa : “wawi moka dia ma ne’e. Apabila sudah
ada persetujuan kedua belah pihak
maka akan memilih sesorang
sebagai delegasi atau “a’I rala“ yang berfungsi dari masa pertunangan sampai saat perkawinan.
Poga Lako
Poga
lako atau bunuh anjing yang di bawa pihak keluarga laki–laki, sedangkan pihak
wanita menyiapkan seekor anak babi. Anjing dan babi tersebut di bunuh untuk
dihidakan atau dimakan bersama-sama sebagai lambang persatuan. Pada tahap ini, dibicarakan
ulu atau ngawu yang diminta oleh pihak keluarga wanita dan calon pengantin pria
langsung tinggal di rumah wanita untuk kerja. Ngawu yang dibawah pada tahap
sebagai berikut:
·
Anjing lambang persaudaraan
·
Moke lambang :
-
Minuman perjanjian
-
Minuman persaudaraan
Tei Uya
Pada
tahap Tei Uya ini yang perlu dibawa pihak keluarga laki-laki adalah kerbau,
kuda, emas (Wunu Mengi), kambing, anjing, ayam, moke, parang adat (topo) serta
sirih pinang sesuai permintaan pihak keluarga wanita.
Pihak
keluarga wanita menyiapkan babi besar, kain bunga, tikar, bantal dan kue cucur
(fidu) untuk diberikan kepada keluarga laki-laki. Hati babi yang dibunuh
diperiksa dengan kepercayaan adat oleh tua adat untuk mendapatkan tanda-tanda,
apabila ada tanda-tanda tidak baik maka proses perkawinan adat tersebut
dibatalkan dan sebaliknya tanda-tanda baik maka proses pertunanganan
dilanjutkan ke tahapan adat yang berikutnya.
Emas
(Wunu Mengi) mempunyai symbol bahwa: a) wanita yang dipinang tersebut adalah
wanita yang bermartabat dan bukan wanita murahan; ) wanita yang dipinang
tersebut adalah wanita yang sulit didapat atau unik; dan c) cinta butuh
pengorbanan.
Ti’i
Te’e Pati Lani (Memberi tikar dan bantal)
Artinya
menyerahkan tikar dan bantal oleh orang tua pihak wanita kepada pasangan
tersebut dan melalui A’i rala ditentukan saat pernikahan adat. Menyerahkan
tikar dan bantal berarti mereka boleh tidur bersama setikar sebantal atau “te’e
a tebu, lani a took”.
Nuka sa’o (pindah
rumah).
Pada tahap ini, orang tua wanita memberikan kepada pihak
laki-laki berupa oba ragi, beka bola, te’e lani dan pora ka. Lalu gadis itu
berangkat bersama-sam ke rumah keluarga si pria.
|
Lasa la’e (Lihat
kembali).
Tahap ini, jika si wanita berada di rumah si pria selama
empat malam. Pada tahap ini si gadis kembali ke rumah orang tuanya dan
mengambil semua barang-barang miliknya untuk dibawa, pihak laki-laki membawa
kambing dan anjing dibalas oleh pihak wanita yaitu babi dan beras.
Sanksi-sanksi
perkawinan adat.
Apabila terjadi pelanggaran maka sanksi yang diberi
adalah jika yang bersalah pihak laki-laki, maka pihak laki-laki harus membayar
semua barang yang diberikan oleh pihak perempuan tanpa harus meminta barangnya
ataupun sebaliknya.
Kesimpulan Dari uraian di atas yang diangkat dari perkawinan adat nagekeo pada umunya, ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Perkawinan merupakan suatu unsur yang harus dijalankan oleh setiap manusia yang bebas memilih, tetapi harus memenuhi ketentuan-ketentuan dan norma-norma yang ada dalam masyarakat.
2. Perkawinan merupakan persekutuan hidup.
3. Harus ada kerja sama partisipasi dalam acara adat perkawinan agar dapat berjalan dengan baik dan sebagaimana mestinya.
4. Menambah rasa persatuan dan kesatuan di antara sesama masyarakat dan antar suku.
5. Menjalin kerja sama antar gereja dan adat setempat agar perkawinan berjalan dengan baik dan penuh iman dan cinta kasih.
Saran saya Berdasarkan uraian di atas kepada beberapa pihak :
1. Masyarakat dan tua-tua adat, kiranya perkawinan adat yang masih bersifat pemborosan dikurangi.
2. Kepada pemerintah supaya kebudayaan mengenai perkawinan adat tetap dilestarikan dan perlu kerja sama dengan toko masyarakat.
3. Dalam hubungan dengan gereja, adat istiadat yang ada di dalam masyarakat dituntut agar dapat menyesuaikan diri dengan peraturan gereja yang bersifat monogami dan gereja menuntut agar perkawinan harus direstui oleh kedua orang tua belah pihak dan kedua saksi di depan pastor sebagai tanda yang sah dalam perkawinan gereja.
Terima kasih…
13 Sep 2012
RITUAL POTONG GIGI ADAT NAGEKEO
Melalui
simbol-simbol upacara, pesan-pesan, ajaran-ajaran, nilai-nilai etis dan norma -
norma yang berlaku dalam masyarakat dapat disampaikan kepada semua warga masyarakat.
Bagi generasi muda hal ini
perlu dihayati dalam mempersiapkan diri menjadi dewasa.
Dalam hubungan dengan upacara tradisioanal yang merupakan bagian integral dari kebudayaan,
maka dalam tulisan ini saya akan
membahas upacara tradisional yang ada di Kabupaten Nagekeo. Tulisan ini menyoroti
salah satu dari upacara tradisional yaitu upacara Koa
Ngi’i ” (potong gigi) yang umumnya dikenakan pada setiap wanita yang akan menginjak
masa remaja dimana dengan upacara ini wanita tersebut dinyatakan telah dewasa
dilihat dari segi adat..
Dalam hal ini lebih ditunjukan kepada wanita yang
belum bekeluarga. Makna diadakannya upcara Ko’a
Ngi’i adalah pengakuan
dari masyarakat bahwa wanita ini telah sah dinyatakan dewasa secara adat.
selain itu juga agar terhindar dari tuntutan adat atau hukuman dari hukum adat
yang ada. Budaya Nagekeo menekankan bahwa untuk memasuki suatu perkawinan perlu
ada persiapan baik biologis, ekonomi dan social. Bagi orang Nagekeo,
seorang yang akan menikah haruslah orang yang sudah akil balig. Untuk
menandakan seseorang sudah akil balik ada upacara “gedho logo” (sunat
bagi anak laki-laki) dan “koa ngi’i” potong gigi bagi anak perempuan.
Khusus anak perempuan, bila belum potong gigi ternyata hamil maka menurut kepercayaan setempat akan menimbulkan kemarau panjang. Dan bila ada kemarau panjang kemudian ketahuan ada anak gadis yang hamil yang melanggar adat yang disebut “sala we’e ngi’i bha” (melakukan hubungan seks sebelum potong gigi) maka dia akan dipanggil (diteriaki) pada malam hari oleh orang dari kampung lain dengan menyebutkan nama orang yang bersalah dan mereka harus memotong kerbau sebagai denda adat agar hujan segera turun.
Upacara ini sangat menarik untuk dibahas karena dalam upacara tersebut banyak hal yang belum diketahui oleh masyarakat khususnya kaum muda sekarang ini. Hal-hal yang perlu diketahui oleh masyarakat khususnya kaum muda seperti kata-kata adat, alat-alat yang harus disediakan, siapa saja yang boleh ikut dalam upacara tersebut, waktu pelaksanaanya, tempat pelaksanaanya. Selain itu juga upacara Ko’a Ngi’i mulai pudar dengan masuknya budaya-budaya luar. Sadar akan pentingnya hal tersebut di atas maka penulis merasa perlu untuk mengangkat upacara “upacara Koa Ngi’i”.”koa ngii”, dahulu sangat ketat dilaksanakan tetapi sekarang ini jarang sekali orang melakukannya. Padahal ini penting untuk menandakan bahwa orang baru boleh menikah setelah siap secara biologis. Soal teknik potong giginya barangkali yang perlu disesuaikan dengan pertimbangan-pertimbangan kesehatan dan situasi zaman sekarang.
Upacaranya sendiri sebenarnya harus tetap dijalankan, karena ada nilai yang mengajarkan seseorang baru berumah tangga setelah cukup umur, ada nlai-nilai budaya penghormatan terhadap lingkungan dan menghargai norma dan tata nilai adat yang baik.
Pengaruh modernisasi, memang membawa perubahan dalam bebagai aspek kehidupan manusia. Bahwa modernisasi disebabkan karena adanya inovasi teknologi, urbanisasi dengan kontak kebudayaan luar sehingga merubah cara berpikir atau ide dan nilai dari metafisik kepositifan dan empiris serta rasional. Dengan kata lain perubahan ini mengandung impilikasi pada perubahan kebudayaan khususnya pada pelaksanaan upacara tradisional, dimana mereka mulai berpikir secara nalar dan rasional sehingga dapat membawa perubahan dalam melaksanakan upacara tradisional tersebut, mereka mulai mengatur hidupnya secara sistematis, rasional, praktis termasuk dalam usaha ekonomi. Hal ini berarti pelaksanaan upacara tradisonal mulai diperhitungkan dalam masalah biaya, waktu dan tenaga. Demikian pula upacara Koa Ngi’i yang akhir-akhir ini sudah mulai kurang dilaksanakan. Hal ini disebabakan karena dalam melaksanakan upacara tersebut membutuhkan banyak biaya seperti hewan kurban dan juga bahan-bahan lain yang dibutuhkan untuk kelancaran upacara tersebut.
Khusus anak perempuan, bila belum potong gigi ternyata hamil maka menurut kepercayaan setempat akan menimbulkan kemarau panjang. Dan bila ada kemarau panjang kemudian ketahuan ada anak gadis yang hamil yang melanggar adat yang disebut “sala we’e ngi’i bha” (melakukan hubungan seks sebelum potong gigi) maka dia akan dipanggil (diteriaki) pada malam hari oleh orang dari kampung lain dengan menyebutkan nama orang yang bersalah dan mereka harus memotong kerbau sebagai denda adat agar hujan segera turun.
Upacara ini sangat menarik untuk dibahas karena dalam upacara tersebut banyak hal yang belum diketahui oleh masyarakat khususnya kaum muda sekarang ini. Hal-hal yang perlu diketahui oleh masyarakat khususnya kaum muda seperti kata-kata adat, alat-alat yang harus disediakan, siapa saja yang boleh ikut dalam upacara tersebut, waktu pelaksanaanya, tempat pelaksanaanya. Selain itu juga upacara Ko’a Ngi’i mulai pudar dengan masuknya budaya-budaya luar. Sadar akan pentingnya hal tersebut di atas maka penulis merasa perlu untuk mengangkat upacara “upacara Koa Ngi’i”.”koa ngii”, dahulu sangat ketat dilaksanakan tetapi sekarang ini jarang sekali orang melakukannya. Padahal ini penting untuk menandakan bahwa orang baru boleh menikah setelah siap secara biologis. Soal teknik potong giginya barangkali yang perlu disesuaikan dengan pertimbangan-pertimbangan kesehatan dan situasi zaman sekarang.
Upacaranya sendiri sebenarnya harus tetap dijalankan, karena ada nilai yang mengajarkan seseorang baru berumah tangga setelah cukup umur, ada nlai-nilai budaya penghormatan terhadap lingkungan dan menghargai norma dan tata nilai adat yang baik.
Pengaruh modernisasi, memang membawa perubahan dalam bebagai aspek kehidupan manusia. Bahwa modernisasi disebabkan karena adanya inovasi teknologi, urbanisasi dengan kontak kebudayaan luar sehingga merubah cara berpikir atau ide dan nilai dari metafisik kepositifan dan empiris serta rasional. Dengan kata lain perubahan ini mengandung impilikasi pada perubahan kebudayaan khususnya pada pelaksanaan upacara tradisional, dimana mereka mulai berpikir secara nalar dan rasional sehingga dapat membawa perubahan dalam melaksanakan upacara tradisional tersebut, mereka mulai mengatur hidupnya secara sistematis, rasional, praktis termasuk dalam usaha ekonomi. Hal ini berarti pelaksanaan upacara tradisonal mulai diperhitungkan dalam masalah biaya, waktu dan tenaga. Demikian pula upacara Koa Ngi’i yang akhir-akhir ini sudah mulai kurang dilaksanakan. Hal ini disebabakan karena dalam melaksanakan upacara tersebut membutuhkan banyak biaya seperti hewan kurban dan juga bahan-bahan lain yang dibutuhkan untuk kelancaran upacara tersebut.
“adat adalah aturan atau
tata tertib yang dipakai untuk mengatur segala relasi antara manusia serta
antara manusia dengan arwah para leluhurnya”. Dengan melihat kedua pendapat di
atas maka didalam upacara Koa
Ngi’i juga harus dilakukan dengan berbagai macam
persiapan dan juga harus meminta do’a dari arwah para leluhur agar
pelaksanaanya dapat berjalan dengan baik.
PROSES BERJALANNYA RITUAL KOA NGI'I..
Menjadi seseorang yang dikatakan dewasa memang diperlukan sebuah proses yang panjang, entah itu dimulai dari proses meningkatnya usia sampai sikap dan cara berpikir. Seperti di Kabupaten Nagekeo, kedewasaan seorang perempuan harus melalui sebuah proses adat. Proses pendewasaan seorang perempuan harus melalui sebuah ritual potong gigi. ritual ini biasa dilakukan pada rentang usia pra remaja atau remaja, tergantung pada kemampuan orang tua anak. Ritual ini sebagai salah satu pelengkap dalam proses menuju jenjang pernikahan...
Sebelum menuju acara potong gigi, pihak keluarga harus melaksanakan sebuah ritual lagi yaitu, mengantar sesajian kepada leluhur. Sesajian biasanya terdiri dari nasi, daging, sirih pinang dan moke. Sesajian ini sebagai bentuk ucapan syukur kepada leluhur sekaligus memohon berkat untuk penyelenggaraan acara.
wanita yang akan di potong gigi akan disuru berbaring dengan mengenakan kain adat setempat. Tidak lama kemudian, tidak lama kemudian seorang sebagai petugas potong gigi mendekat dan memegang rahang sang wanita sambil meminta untuk membuka mulut.
Sebuah batu asah kecil langsung ditancapkan ke gigi.biasanya kontan
saja wajah meringis dan mengeluarkan rintihan menahan ngilu
ketika batu asah tersebut digosok berulang-ulang kali.
Setelah dirasa permukaan gigi telah rata, kemudian di serahkan untuk diobati. Disini pengobatan hanya mengandalkan
ramuan ala kampung berupa buah pinang yang masih mentah. diharuskan mengunyah buah pinang tersebut beberapa kali sekedar
menghilangkan rasa ngilu.
Inilah puncak dari semua rangkaian pendewasaan perempuan Kabupaten Nagekeo. Ritual ini mengandung makna bahwa anak
tersebut telah dewasa dalam hukum adat. suatu saat jika sampai pada usia
siap pinang, hukum adat sudah merestui jika ada lelaki yang datang
meminang,
Sebelum menuju ritual ini, pihak keluarga harus menjalani
beberapa rangkaian acara adat. Malam sebelumnya, pihak keluarga maupun
undangan akan melaksanakan tandak. Mereka mulai menari, bernyanyi dan
berpantun mengelilingi api unggun sambil berpegang tangan.
Syair-syair dalam irama tandak mengisahkan tentang arwah nenek moyang dan sejumlah ajaran-ajaran adat dalam kehidupan. Sesekali diselingi dengan pantun yang di ucapkan secara berbalasan dari kaum perempuan dan laki-laki. Isi pantun kadang bernada humor, yang mengundang gelak tawa dari para penonton. Untuk menambah semangat, seorang petugas akan terus menghidangkan sirih pinang dan moke, minuman khas nagekeo kepada para peserta tandak
Tidak lama kemudian, wanita yang akan potong gigi diboyong oleh orang tuanya untuk disertakan dalam tandak. Disini sang anak harus menggunakan busana adat dan menutup mulutnya dengan selempang. Selama mengikuti proses ini, anak tersebut senantiasa mendapatkan pengawasan dari pihak keluarga untuk tidak berkomunikasi secara langsung dengan siapa saja. Dalam acara tandak, sang anak hanya diberikan kesempatan lima kali berputar mengelilingi api unggun bersama peserta tandak yang lain. Kemudian kembali di boyong ke kamar untuk beristirahat. Acara tandak berlangsung non stop semalam suntuk. Seiring mentari terbit, acara tandak pun bubar.
Ketika tiba sampai puncak acara, sang anak dituntun keluar rumah oleh
orang tuanya. Proses potong gigi harus dilaksanakan dirumah tetangga
yang masih memiliki hubungan keluarga. Namun, sebelum rombongan menuju
rumah tetangga, terlebih dahulu anak diberkati dengan sapaan adat oleh
salah satu tetua adat. Sapaan adat diikuti dengan percikan beras
sebanyak lima kali ke arah anak. Ritual pemberkataan ini di sebut “Resa
Kuras”. Setelah itu, sang anak akan di ayun oleh ayahnya sebanyak lima
kali diatas seekor babi yang diletakan di depan rumah. Pada hitungan
yang kelima, anak tersebut di ayun melewati babi dan siap berjalan
menuju rumah tetangga tempat dilaksanakannya ritual potong gigi. Di
rumah tersebut sudah menanti petugas potong gigi yang telah siap dengan
sebuah batu asah kecil. Petugas ini harus berasal dari anggota keluarga.
Seluruh rangkaian acara ini boleh dibilang memerlukan biaya yang tidak
sedikit. Biasanya jauh-jauh hari pihak keluarga sudah menyiapkan segala
kebutuhan acara, mulai dari hewan sapi, kerbau, babi dan kambing yang
siap di korbankan untuk makan bersama. Bagi orang tua anak, persiapan
acara ini mungkin bisa tertolong dengan bingkisan-bingkisan yang di bawa
oleh para undangan. Namun, pihak orang tua pun harus memikirkan untuk
bagaimana membalas kembali bingkisan-bingkisan tersebut. Karena sudah
menjadi tradisi, pihak keluarga selaku undangan yang membawa bingkisan
berupa tikar, bantal ataupun beras akan menerima balasan berupa kambing
ataupun babi. Sebaliknya, yang membawa bingkisan babi ataupun kambing
akan menerima balasan tikar ataupun beras.
Bagaimanapun, dibalik semua proses acara yang panjang dan membutuhkan biyaya yang tidak sedikit ini, terselip perasaan
lega dan bangga. Setidaknya, tanggung jawab orangtua dalam hukum adat
telah dilaksanakan, walaupun secara ekonomis biaya yang dikeluarkan
cukup besar...
TAMBAHAN : ACARA POTONG GIGI ADA SEDIKIT PERBEDAAN ANTARA MASING-MASING DAERAH DI NAGEKEO YANG MENJALANKAN TRADISI INI, BEGITU PUN SEBUTAN ATAS RITUAL INI... ADA YANG MENYEBUTNYA KOA NGI'I UNTUK WILAYAH BOAWAE DAN "Sorongi'is" UNTUK WILAYAH MAUPONGGO, SECARA UMUM PROSESNYA MEMPUNYAI KEMIRIPAN...
terima kasih semoga bermanfaat....
12 Sep 2012
RITUAL TINJU ADAT NAGEKEO (ETU)
BUDAYA TINJU ADAT (ETU) DIKABUPATEN NAGEKEO
Kebudayan pada
dasarnya adalah hal yang ensiensi dalam kehidupan umat manusia.Sejalan dengan
perkembangan pola pikIr dan sikap tindak tanduk manusia dimuka bumi ini maka
kebudayaan sebenarnya merupakan suatu proses yang dinamis,dalam tata cara
pergaulan masyarakat penduduknya.Akibat dari proses dinamika kebudaya itu tidak
jarang terjadi pergeseran nilai dan normal yang berlaku dalam masyarakat yang
bersangkutan.Kebudayaan adalah warisan social yang hanya dapat diwariskan dari suatu generasi ke
generasi yang lain dengan cara dipelajari dan bukan diturunkan secara
biologis.kebudayaan hanya hanya dapat tumbuh dan berkembang apabila didukung
oleh masyarakat sebagai pemilik dan pendukung kebudayaan tersebut.
Tinju
Tradisional adalah sebuah olahraga tradisional yang mengandung tiga unsur
yakni: Tinju itu sendiri, Tarian dan
Nyanyian.Tinju dilaksanakan dihalaman kampung, dimana kita dapa melihat “PEO”, tiang tradisional, lambang
persatuan dan kesatuan berdiri tegak diatas susunan batu. Alat
tinju berupa kumparan tali ijuk berbentuk bulat lonjong yang disebut “TAI KOLO”. Tinju tradisional mempunyai
nama yang berbeda bagi masyarakat kecamatan yang menyelenggarakan tinju
tradisional.
Masyarakat kecamatan Boawae menyebut
“ETU”, masyarakat kecamatan Soa
menyebut “SAGI” dan masyarakat Tadho
di kecamatan Riung menyebut “MBELA”.
Etu adalah sebutan dalam etnis Nagekeo /
Sagi adalah sebutan dalam suku Ngada merupakan
atraksi tinju tradisional dengan manampilkan jago-jago dari kampung masing-masing untuk mengadu kekuatan dan ketangkasan masing-masing
peserta. Atraksi ini berlangsung dalam arena yang dibuat
di tengah kampung. Tiga hari sebelum pertandingan
diadakan ritual adat memohon kekuatan untuk peserta tinju
Di Kabupaten Nagekeo, ada salah satu seremoni adat
yang oleh masyarakat setempat dikenal dengan sebutan etu atau disebut mbela. Seremoni
itu juga biasa dinamakan tinju adat. Walaupun aturan dan cara bertarungnya
tidak sama dengan olahraga tinju yang sebenarnya, namun terdapat beberapa
kemiripan. Tinju adat ini, bukan soal kalah atau menang melainkan pertarungan
antar laki-laki untuk membuktikan kewibawaan dan harga diri laki-laki."Etu
bisa dilihat sebagai salah satu olahraga tradisional yang menunjukkan
kewibawaan laki-laki. Jadi etu merupakan ajang pembuktian kewibawaan dan harga
diri laki-laki,"Kesamaannya dengan olahraga tinju "modern",
tinju tradisional ini pun berlangsung di arena di tengah kampung.. Keduanya
saling meninju. Hanya petinju etu tidak menggunakan sarung tangan. Hanya salah
satu tangan petarung dililit sabut
kelapa yang disebut Kepo atau Wholet. Alat ini
digunakan sebagai senjata untuk melumpuhkan lawan, bahkan sampai berdarah.Tidak
ada ketentuan pasti dalam aturan ronde. Etu langsung saja dihentikan bila salah
satu petarung jatuh atau mengeluarkan darah. Pada umumnya tinju adat ini
berlangsung antara dua sampai lima menit, tergantung kekuatan masing-masing
petarung.
Waktu Penyelenggaraan
Upcara
tinju tradisional atau etu dalam pelaksanaan masih berpedoman pada tradisi
leluhur.adapun waktu pelaksanaan upacara khusud untuk masyarakat masih
menggunakan peerhitungan atau patokan yang sama yaitu kelender adat setempat
dengan bulan purnama.
Tinju tradisional dapat dilaksanakan pada bulan
dan tempat sebagai berikut:
a) Maret
Solo, kecamatan Boawae. Mengeruda kecamtan Soa.
b)
April
Piga, Kecamtan Soa.
c)
Mei
Lade, tarawaja, Kecamatan Soa. Nio, Masumeli, kecamatan Soa.
d)
Juni
Natanage,
Kecamatan Boawae. Natalea, Raja Kecamatan Boawae. Takatunga, Sarasedu kecamatan
Golewa.
e)
Juli
wulu kec.mauponggo ,Gero, Dheresia, Nunukae, Kecamatan Boawae. Tadho, Kecamatan Riung.
PERSIAPAN DAN PERLENGKAPAN
UPACARA
Dalam pelakasanaan upacara tinju
tradisional atau etu bagi yang mengembang tugas harus mempersiapkan dua hal
utama yang meliputi persiapan fisik maupun persiapan mental.yang dimaksud
persiapan fisik,berwujud benda-benda dengan pelengkapannya yang diperlukan
unntuk penyelenggaraan upacara.sedangkan pesiapan mental atau non fisikdalam
bertanding anatar dua kumbung berwujut suatu tradisi yang selama ini
dilaksanakan yaitu sikap dan perbuatan yang harus sportif menerima kekalahan
saat melaksanakan baik sebelum dan pada saat berlangsungannya upacara
tersebut.sebelum upacara etu dilaksanakan pihak penyelenggaraan melakukan
pembagianpersiapan.langkah pertama dilakukan adalah penetapan tanggalupacara
secara pasti,sehingga tidak menimbulkan keraguan bagi peserta.
Setelah
menetapkan tanggal maka acara persiapan ditunjukan pada penyenggaraan teknis
uapacara dan penyambutan tamu yang diundang.pihak penyelenggaraan sebagai tuam
rumah wajib mepersiapkan .
a)
Loka melo (arena) dengan membuat pagar keliling dan kedua sisi lebar,loka mmelo
didirikanpondok dengan perlengkapan melo
(alat musik).pelengkapan melo terdiri dari bangku yang terbuat dari bambu dan
sebatang bambu yang diletakan diatas tanah dan tongkat (dho melo)
b)
Kepo/alat tinju yang dibuat dari ijuk yang dipintal pada bagia ujung biasanya
diberi benda keras seperti tanduk rusak (pada zaman duluh) dan kulit keba
JALANNY UPACARA
Etu (tinju) tidak merupakan sebuah acara yang berdiri sendiri akan
tetapi merupakan puncak dari suatu
rangkaian upacara yang panjang.Rangkai ini merupakan suatu kebutuhan dan tidak
dapat dipotong-potong.
Etu (tinju) baru dapat berjalan apabila tahap-tahap upacara yang
mendahuluinya telah terlaksanakan.jalan upacara tahap demi tahap
a)
Hedha Wewa
Hedha wewa
merupakan tahap awal upacarayang dilaksanakanempat hari sebelum upacara puncak
etu (tinju).hedha wewa /menghentak halaman atau tempat upacara merupakan kegiatan/acara yang
selalu dilakukan sebelu sampai pada puncak upacara.
Persiapan menyambut para tamumeliputi:beras,hewan (babi,ayam
kambing) sayur dan moke.moke selain diminum pada saat makan,juga merupakan minuman yang
penting/pelengkap pada waktu jalan upacara.
b)
Malam Dero
Dero ini terus dilaksanakan dibawah wula gelu lera (bulan mengantikan matahari artinya matahari berusan terbenam di ufuk
barat dan langit masih kemerahan,pada saat yang sama langi di ufuk timur pu
merah dan munculah bulan purnama penuh) pada umumnya masyarakat sudah tahu
apa yang terjadi malamini sehingga segala urusan segera dibereskan dan mereka berbondong menuju arena
untuk mempersiapkan acara malam dero yakni tandak sepanjang malam dibawah terang bulan.para
petugas memasang api unggu,bergendangan tangan dan mulai menyanyi .pada sekitar
pukul 19:30 orang sudah mendekat lapangan upacara.acara malam dero ini diawali
dengan etu (tinju) sebagai pengisi waktu atau pemanasan yang biasanya dilakukan
oleh anak-anak atau mereka yang baru belajar.
Tinju di hari kedua ini
diidentikkan dengan etu atau mbela yang sebenarnya. Petarungnya pun merupakan
utusan dari daerah-daerah tertentu. "Kekuatan seorang laki-laki, bisa
dilihat saat etu berlangsung. Yang lebih kuat pasti dia yang menang. Yang
menang dinilai punya kewibawaan lebih Walaupun memiliki makna yang sama, ada
beberapa istilah dan kemasan acara yang berbeda antara satu suku dengan suku
lainnya di Nagekeo dalam menyelengarakan tinju adat atau etu ini. Etu dipimpin
wasit, atau seka, dalam istilah setempat. Ada dua sampai tiga orang seka/pelerai. Selain wasit, ada petugas yang
disebut sike yaitu yang bertugas untuk mengendalikan para petarung agar tidak
membabibuta menyerang dan melukai lawannya. Sike/pemegang bisa dengan mudah melaksanakan tugasnya karena memegang ujung bagian
belakang sarung yang dikenakan petarung. Jadi begitu petarunnya macam-macam,
sike hanya menarik saja ujung kain menjauhkan petarung
Ada juga petugas lain yang
disebut pai etu atau bobo etu. Petugas ini bertugas untuk mencari petarung
berikutnya yang ada di sekitar arena pertarungan. Atau siapa yang berniat
bertinju, dia langsung lapor saja ke pai etu yang akan mengatur jadwal
pertandingannya. Petugas ini bisa terdiri dari dua orang atau lebih. Ada juga yang
dinamakan mandor adat, tugasnya adalah mengawasi penonton yang berada di luar
arena agar tidak masuk ke dalam arena. Mandor adat ini
terdiri dari dua sampai empat orang..
KESIMPULAN
Dalam hal ini, masyarakat nagekeo
sendirilah yang diharapkan memberikan sumbangan yang paling besar terhadap
upaya pengembangan dan pelestarian budayanya. Hal ini didasarkan padapemikiran
bahwa masyarakat nagekeo yang seharusnya
paling tahu dan paham terhadap budayanya. Semoga dapat bermenfaat bagi
semua pihak yang membacanya. Kritik dan saran yang bersifat membangun sangat
diperlukan dalam rangka perbaikan
.
REKOMENDASI
Diadakan kegiatan tinju adat ini bertujuan untuk meningkatkan rasa
solidaritas sosial antara warga masyarakat baik dalam satu klen dan warga masyarakat
dari kampung tetangga, untuk menghormatin pewaris kebudayaan yang turunkan oleh
leluhur dengan segala prestise dan keindahan, sebagai Pencetus sifat-sifat para
leluhur yang telah menciptakan etu, sebagai kesenian ,olaraga dan rekreasi,
untuk menjadi salah satu atraksi budaya yang dapat dinikmati wisatawan baik dalam
negeri maupun luar negeri serta untuk mengetahui bagaiman jalannya upacara tinju.
Langganan:
Postingan (Atom)