WELCOME TO MY LIFE

TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA,SEMOGA ANDA TEMUKAN YANG ANDA CARI,SAYA TIDAK BERMAKSUD MENGGURUI, MENUNTUN ATAU MERUBAH.. HNY INGIN BERBAGI, MENGGORES WARNA, MENGHAPUS LUKA..

6 Agu 2012

TATA CARA “TU WAWI” MENURUT ADAT NAGEKEO



TATA CARA “TU WAI”

MENURUT ADAT NAGEKEO (NAGE)




I.            PENDAHULUAN


Dalam adat Nagekeo, bila saudara perempuan atau anak perempuan yang pergi ke rumah suaminya setelah melalui proses perkawinan adat, pada suatu ketika ada hajatan adat seperti urusan perkawinan, bangun rumah, masuk rumah atau acara adat lain, mereka biasanya minta babi dan beras, juga kain, tikar bantal, bere dan piring (pae, wawi, sada hoba, tee lani kula bola). Dalam bahasa adat diungkapn sebagai “tu wai, tau ngia tutu wa wawo wena”. Secara bebas diterjemahkan dan ditafsirkan mengantarkan barang-barang tersebut sebagai pemberian berkat yang awal dan akhir agar dalam perhelatan adat tersebut tidak mengalami kekurangan suatu apapun.

Adat ini dilaksanakan karena dalam budaya Nagekeo, pihak laki-laki (Bapak dan saudara laki-laki) disebut “Moi Ga’e. Moi di’i sa’o, ta tuki pau tune angi pau ‘api” (Penjaga rumah adat yang sering menghormati para leluhur melalui ritus-ritus adat). Sering juga disebut “’Ine ‘ame, ‘ebu ta’u, pu’u kamu logo lighu”. Pihak perempuan (saudara perempuan dan anak perempuan) di sebut “’Ana weta,  ‘Ine weta ‘ana ‘ane, ta tu zeu nawu lewa” (saudari dan anak perempuan yang diantar ke rumah suaminya). Oleh hubungan kekerabatan inilah, bila ada hajatan adat di pihak keluarga saudari atau anak perempuan mereka perlu meminta berkat dan restu dari saudara laki-lakinya.

Gereja lokal Keuskupan Agung Ende, sejak Musyawarah Pastoral Pertama Tahun 1988, dengan semangat Konsili Vatkan II, menyadari bahwa memasukan unsur-unsur adat dalam kegiatan gerejani termasuk liturgi dengan inkulturasi sejauh tidak bertentangan dengan ajaran Gereja (injil dan ketentuan Gereja lainnya) perlu dilakukan agar masyarakat lokal dapat menghayati kekritenan dengan cara pandang budaya mereka yang juga bernafas kristiani.

II.         BAHAN “TU WAI”


Bahan “tu wai” seperti yang sudah disinggung pada pendahuluan adalah “pae,wawi, sada, hoba, tee, lani, kula bola”. Sebutan dan urutan seperti itu oleh para leluhur pasti mempunyai makna yang dapat kita tafsirkan sebagai urutan dari hal-hal yang paling penting. Secara sederhana dapat diuraikan sebagai berikut:

1.  Pae (padi) tetapi bisa padi atau beras. Dan ini menurut adat akan dimasak untuk pertama kali baru disusul dengan memasak nasi dari beras yang disediakan oleh yang melakukan upacara adat,

2.  Wawi (babi) dengan ukuran tergantung kebutuhan mulai daripaling kecil sesuai dengan kemampuan pikul yaitu: ana wawi eno (anak babi kecil), kao date (berat tetapi dapat digendong sendiri), bhei dhua (dipikul dua orang), bhei wutu (dipikul empat orang), zua butu (dipikul delapan orang), sekomai (dipikul enam belas orang). Babi ini juga dipotong pertama karena darahnya akan diambil untuk seremoni adat dan juga untuk melihat tanda-tanda dari Tuhan dan Leluhur yang diisyaratkan melalui bagian-bagian dari hati babi (kela ua ate, tei ua)

3.  Sada hoba (kain tenunan Nage dan kain tenunan Mbay) ini tentunya untuk kelengkapan pakaian (tau tago wai) bagian dari pada “pedi leki” (member pakaian). Untuk urusan adat perkawinan biasanya juga dimintakan “kodo to mite”.

4.  “Te’e lani, kula bola” menunjukkan kesempurnaan pemberian dan dengan segenap hati.



III.      TATA CARA PELAKSANAAN


Bila persiapan barang “tu wai”sudah lengkap maka keluarga “’Ine ‘ame ‘ebu ta’u, pu’u kamu loho lighu” bersama beberapa orang anggota keluarga akan melaksanakan pengantaran kepada keluarga “’ine weta ‘ana ‘ane”. Mengenai barang-barang selain babi, tida ada hal yang perlu dijelaskan karena akan diantar biasa saja. Namun mengenai babi perlu dijelaskan tata cara pelaksanaan yang perlu diketahui.

Pada zaman dahulu, biasanya babi diambil dari kandang sendiri. Dengan demikian pada saat  menangkap babi (puju/wa,o), sebelum diangkat dicabut bulu bagian dahi dan ekor (fu waka ne’e fu ‘eko) dan diletakkan dibawa tempat makanan babi (kabha wawi) dengan ungkan adat,”tosi omi, taso omi”.

Kalau ‘ana wawi ‘eno sampai dengan bhei wutu, pembawaan babi tidak diperlukan perlakuan khusus dalam arti dipikul begitu saja oleh para pemikul mulai dari pikul sendiri sampai bergotong royong sampai dengan empat orang dan babi diikat pada kakinya saja. Alat bantunya hanya berupa pikulan (bhei bhole) dan dimasukan diantara kaki babi yang sudah diikat.

Namun lain halnya kalau babinya sudah “zua butu”atau “seko mai”. Untuk memikulnya perlu mengundang beberapa orang tetangga (wae ‘ulu ‘eko). Alat pemikulnya dibuat kusus dari bambu dengan rakitan yang baik menggunakan tali dari hutan (koba leke, tali tuwa atau pepu nunu). Untuk  memudahkan pemikulan dan penghematan serta memudahkan pembuangannya. Pikulannya disebut “aka”. Di atas “aka” inilah akan diletakan babi kemudian diikat dengan “tali nao”.

Yang uniknya, sambil memikul babi para pemukul akan menyanyikan lagu “’ana manu geka” dengan syair-syairnya sebagai berikut:

‘Ana manu geka e, ‘ana manu geka……’Ana ‘io wea e………….’ana ‘io wea

‘Ala wea teo e, ‘ala wea teo…………….’Ana lako teko e …….’ana lako teko

‘Ala topo tato e, ‘ala topo tato……….’Ana jara nalo e………’ana jara nalo

‘Ame nara se’a e,’ame nara se’a……….Walo ma’e kena e…..walo ma’e kena



IV.        PENUTUP.


 Demikianlah uraian singkat tentang tata cara “tu wai” menurut budaya Nagekeo.  Catatan ini dibuat berdasarkan penuturan orang tua-tua agar dapat dipelajari dan diwariskan kepada generasi mudah. Catatan ini belumlah sempurna karena keterbatasan nara sumber, tetapi di boleh menjadi catatan awal yang perlu disempurnakan karena dari rangkaian tata cara “tu wai”tersebut di atas ada nilai-nilai luhur yang perlu kita gali dan lestarikan. Semoga bermanfaat.


Tidak ada komentar:

Pages

Template by : kendhin x-template.blogspot.com