TATA CARA “TU WAI”
MENURUT ADAT NAGEKEO (NAGE)
I. PENDAHULUAN
Dalam adat Nagekeo, bila saudara perempuan atau anak perempuan yang pergi
ke rumah suaminya setelah melalui proses perkawinan adat, pada suatu ketika ada
hajatan adat seperti urusan perkawinan, bangun rumah, masuk rumah atau acara
adat lain, mereka biasanya minta babi dan beras, juga kain, tikar bantal, bere
dan piring (pae, wawi, sada hoba, tee lani kula bola). Dalam bahasa adat
diungkapn sebagai “tu wai, tau ngia tutu wa wawo wena”.
Secara bebas diterjemahkan dan ditafsirkan mengantarkan barang-barang tersebut
sebagai pemberian berkat yang awal dan akhir agar dalam perhelatan adat
tersebut tidak mengalami kekurangan suatu apapun.
Adat ini dilaksanakan karena dalam budaya Nagekeo, pihak laki-laki (Bapak
dan saudara laki-laki) disebut “Moi Ga’e. Moi di’i sa’o, ta tuki pau
tune angi pau ‘api” (Penjaga rumah adat yang sering menghormati
para leluhur melalui ritus-ritus adat). Sering juga disebut “’Ine
‘ame, ‘ebu ta’u, pu’u kamu logo lighu”. Pihak perempuan (saudara
perempuan dan anak perempuan) di sebut “’Ana weta, ‘Ine weta
‘ana ‘ane, ta tu zeu nawu lewa” (saudari dan anak perempuan yang
diantar ke rumah suaminya). Oleh hubungan kekerabatan inilah, bila ada hajatan
adat di pihak keluarga saudari atau anak perempuan mereka perlu meminta berkat
dan restu dari saudara laki-lakinya.
Gereja lokal Keuskupan Agung Ende, sejak Musyawarah Pastoral Pertama Tahun
1988, dengan semangat Konsili Vatkan II, menyadari bahwa memasukan unsur-unsur
adat dalam kegiatan gerejani termasuk liturgi dengan inkulturasi sejauh tidak
bertentangan dengan ajaran Gereja (injil dan ketentuan Gereja lainnya) perlu
dilakukan agar masyarakat lokal dapat menghayati kekritenan dengan cara pandang
budaya mereka yang juga bernafas kristiani.
II. BAHAN
“TU WAI”
Bahan “tu wai” seperti yang sudah disinggung pada
pendahuluan adalah “pae,wawi, sada, hoba, tee, lani, kula
bola”. Sebutan dan urutan seperti itu oleh para leluhur pasti
mempunyai makna yang dapat kita tafsirkan sebagai urutan dari hal-hal yang
paling penting. Secara sederhana dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Pae (padi) tetapi bisa padi atau beras.
Dan ini menurut adat akan dimasak untuk pertama kali baru disusul dengan
memasak nasi dari beras yang disediakan oleh yang melakukan upacara adat,
2. Wawi (babi) dengan ukuran tergantung
kebutuhan mulai daripaling kecil sesuai dengan kemampuan pikul yaitu: ana
wawi eno (anak babi kecil), kao date (berat
tetapi dapat digendong sendiri), bhei dhua (dipikul dua
orang), bhei wutu (dipikul empat orang), zua
butu (dipikul delapan orang), sekomai (dipikul
enam belas orang). Babi ini juga dipotong pertama karena darahnya akan diambil
untuk seremoni adat dan juga untuk melihat tanda-tanda dari Tuhan dan Leluhur
yang diisyaratkan melalui bagian-bagian dari hati babi (kela ua ate,
tei ua)
3. Sada hoba (kain tenunan Nage dan kain
tenunan Mbay) ini tentunya untuk kelengkapan pakaian (tau tago wai) bagian
dari pada “pedi leki” (member pakaian). Untuk urusan
adat perkawinan biasanya juga dimintakan “kodo to mite”.
4. “Te’e lani, kula bola” menunjukkan
kesempurnaan pemberian dan dengan segenap hati.
III. TATA CARA
PELAKSANAAN
Bila persiapan barang “tu wai”sudah lengkap maka
keluarga “’Ine ‘ame ‘ebu ta’u, pu’u kamu loho lighu” bersama
beberapa orang anggota keluarga akan melaksanakan pengantaran kepada
keluarga “’ine weta ‘ana ‘ane”. Mengenai barang-barang
selain babi, tida ada hal yang perlu dijelaskan karena akan diantar biasa saja.
Namun mengenai babi perlu dijelaskan tata cara pelaksanaan yang perlu diketahui.
Pada zaman dahulu, biasanya babi diambil dari kandang sendiri. Dengan
demikian pada saat menangkap babi (puju/wa,o), sebelum
diangkat dicabut bulu bagian dahi dan ekor (fu waka ne’e fu ‘eko) dan
diletakkan dibawa tempat makanan babi (kabha wawi) dengan
ungkan adat,”tosi omi, taso omi”.
Kalau ‘ana wawi ‘eno sampai dengan bhei wutu,
pembawaan babi tidak diperlukan perlakuan khusus dalam arti dipikul begitu saja
oleh para pemikul mulai dari pikul sendiri sampai bergotong royong sampai
dengan empat orang dan babi diikat pada kakinya saja. Alat bantunya hanya
berupa pikulan (bhei bhole) dan dimasukan diantara kaki
babi yang sudah diikat.
Namun lain halnya kalau babinya sudah “zua butu”atau “seko
mai”. Untuk memikulnya perlu mengundang beberapa orang tetangga (wae
‘ulu ‘eko). Alat pemikulnya dibuat kusus dari bambu dengan rakitan yang
baik menggunakan tali dari hutan (koba leke, tali tuwa atau pepu
nunu). Untuk memudahkan pemikulan dan penghematan serta
memudahkan pembuangannya. Pikulannya disebut “aka”. Di
atas “aka” inilah akan diletakan babi kemudian diikat
dengan “tali nao”.
Yang uniknya, sambil memikul babi para pemukul akan menyanyikan lagu “’ana
manu geka” dengan syair-syairnya sebagai berikut:
‘Ana manu geka e, ‘ana manu geka……’Ana ‘io wea e………….’ana ‘io wea
‘Ala wea teo e, ‘ala wea
teo…………….’Ana lako teko e …….’ana lako teko
‘Ala
topo tato e, ‘ala topo tato……….’Ana
jara nalo e………’ana jara nalo
‘Ame nara se’a e,’ame nara se’a……….Walo ma’e kena e…..walo ma’e kena
IV. PENUTUP.
Demikianlah uraian singkat tentang tata cara “tu wai” menurut budaya
Nagekeo. Catatan ini dibuat berdasarkan penuturan orang tua-tua agar
dapat dipelajari dan diwariskan kepada generasi mudah. Catatan ini belumlah
sempurna karena keterbatasan nara sumber, tetapi di boleh menjadi catatan awal
yang perlu disempurnakan karena dari rangkaian tata cara “tu wai”tersebut di
atas ada nilai-nilai luhur yang perlu kita gali dan lestarikan. Semoga
bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar