-tahap Pembuatan Peo lambang pemesatu masyarakat nagekeo
Tahap Awal
Seperti biasanya ketua adat dan para ketua suku serta
para “mosa Laki” harus duduk bersama,
membuat suatu pertemuan atau “mutu tiwo”
dan mengambil suatu kesepakatan dalam melakukan suatu upacara adat. Supaya
segala kegiatan yang akan dilaksanakan tidak terbengkalai.
Kai
Noe (Pelacakan atau penjajakan)
Kegiatan ini biasanya dilakukan oleh ketua adat dan
beberapa anggota suku yang dipercayakan. Mereka masuk keluar hutan untuk
mencari kayu “ebu” yang cocok untuk
pembuatan Peo. Setelah mereka menemukannya, mereka tidak menyentuh kayu
tersebut. Mereka harus menemui penguasa hutan itu, untuk memberitahukan bahwa
ada sebatang pohon “ebu” yang
diistilahkan sebagai seorang anak gadis yang nanti akan mereka lamar atau
pinang. Kayu ebu ini diibaratkan
dengan seorang anak gadis yang sangat cantik.
Ade
Ona (Melamar atau Meminang)
Setelah diadakan penjajakan dan mengetahui tempat dan
siapa tuan kayu atau yang diibaratkan sebagai orang tua si gadis itu, ketua
adat dan beberapa anggota suku langsung membicarakan berapa belis yang harus
dibawa oleh pelamar. Setelah disetujui bersama, maka ketua adat dan semua
mereka yang hadir langsung menentukan waktu untuk memotong kayu atau “Pogo Peo”, yang sering diistilahkan “Ana Nuka Sa’o”, artinya gadis yang
dipinang itu, setelah dibelis, dibawa ke rumah orang yang telah melamarnya dan
telah sah menjadi suaminya.
Tahap Inti
Tahap inilah yang mulai melibatkan banyak orang, yakni
anggota suku dari dalam wilayah adat setempat. Tidak saja anggota suku yang ada
dalam suku di wilayah ini, tetapi anggota suku lain di sekitarnya upacara
pembuatan Peo ini, membutuhkan banyak tenaga. Dan biasanya anggota suku lain di
sekitarnya hanya dapat menyumbangkan tenaga. Dan hanya itulah yang dituntut
dari mereka.
Pogo
Peo (Potong Kayu Pembuat Peo)
Saat ini yang paling mengembirakan suku-suku yang berdiam
di wilayah ini. Gong gendang mulai dibunyikan, tanda dimulainya suatu kegiatan
besar yang dinanti-nantikan. Suasana wilayah ini akan berubah menjadi sangat
riuk. Suku-suku yang ada mulai beraksi dalam seluruh rangkaian kegiatan.
Ketua adat yang didampingi seorang “Ana Susu” ”(Pembantu atau pelayan ketua suku) memanggil seluruh
anggota suku dari keempat suku, mengadakan musyawarah untuk mengundang
suku-suku lain di sekitarnya yang diistilahkan dengan “Kae Ari, A’i lima”. Suku-suku yang diundang, dijemput dan
dibunyikan gong gendang. Setelah semuanya berkumpul, mulai diadakan “Nalo”, yakni makan bersama. Usai makan
bersama, Ketua adat mulai memberikan penjelasan mengenai tujuan mereka
berkumpul dan menjelaskan beberapa persyaratan dalam “ Pogo Peo” (Potong kayu pembuat Peo) yang akan dilaksanakan.
Usai semua itu, Ketua Adat dan keempat suku beserta “ ana susu”(Pembantu atau pelayan ketua
suku), turun dari rumah adat untuk mulai “ wesa
rea”, artinya berdoa kepada para leluhur. Setelah mereka keluar dari kampung
dengan didahului oleh “ana susu”
(Pembantu atau pelayan ketua suku), disusul Ketua Adat. Alat yang dibawa adalah
“ Topo Seki Dewa”, yakni parang yang
dipakai pada waktu perang dahulu, “Boku toyo” (Destar berwarna merah), yang diikat di kepala untuk menandakan
keberanian melawan musuh-musuh, “Taka pie”
atau kapak adat dan “bele” atau
kantong untuk mengisi bahan makanan bagi para leluhur yang nanti dipergunakan
untuk “wesa rea”(berdoa dan memberi
makan kepada arwah para leluhur), juga hewan untuk belis (mas kawin).
Ketika tiba di tempat yang ditujui, mereka semuanya
diterima oleh pihak orang tua si gadis atau pemilik kayu. Makan minum diadakan
bersama-sama sesuai dengan tata cara adat perkawinan di wilayah tersebut.
Selesai makan, barang bawaan diserahkan kepada tuan kayu atau orang tua si anak
gadis, yakni kerbau, kuda, emas, dan kambing, sebagai mas kawin. Setelah itu
langsung di buat acara penyerahan anak gadis tersebut oleh orang tuanya untuk “Nuka Sao” (gadis yang dipinang itu,
setelah dibelis, dibawa ke rumah orang yang telah melamarnya dan telah sah
menjadi suaminya). Inilah saatnya “Pogo
Peo”(Potong kayu pembuat Peo), tuan kayu bersama seluruh yang hadir
beranjak ke tempat di mana kayu itu berada.
Kedua, setelah
menemukan kayu yang dimaksudkan, ketua adat dan “Ana Susu”(Pembantu atau pelayan ketua suku) mulai melakukan “wesa rea”, yakni berdoa mohon campur
tangan para leluhur sambil memberi makan kepada para leluhur di bawah pohon
kayu yang hendak dipotong.
Usai melaksanakan beberapa tahap serimonial di atas, maka
pohon tersebut mulai dipotong. Tapi sebelumnya, pohon tersebut diagak dengan “Taka Pile”(Kapak adat) oleh Ketua Adat.
Hal ini menunjukkan campur tangan para leluhur dalam acara tersebut.
Kayu yang ditebang dan mempunyai dua cabang itu,
kemudian dikuliti. Kegiatan ini sangat meriah karena diiringi bunyi gong
gendang dan teriakan-teriakan. Sementara sebagian orang menyiapkan kayu
pengusung. Setelah semua beres, kayu ini kemudian diusung bersama-sama sambil
meneriakan yel-yel diiringi gong gendang dan tarian. Arak-arakan ini didahului
oleh “Ketua Adat” dan “Anak Susu”(Pembantu atau pelayan ketua
suku). Bila ada hambatan, misalnya karena pengaruh ilmu gaib dari pihak luar
yang sering membebankan para pengusung, maka ketua adat biasanya menunggang
kayu Peo yang sedang diusung itu agar menjadi ringan. Menurut keyakinan
masyarakat setempat, biasanya orang yang memiliki ilmu hitam menunggang kayu
tersebut. Oleh karena itu, ketua adat harus segera menunggang kayu tersebut,
agar yang empunya ilmu gaib menghindarkan diri atau melarikan diri.
Setibanya di kampung, kayu dan arak-arakan itu disambut
dengan tarian oleh para wanita sebagai tanda penghormatan. Kayu kemudian
ditempatkan pada suatu tempat yang telah disiapkan secara istimewa untuk
diproses selanjutnya. Di tempat inilah kayu tersebut di ukir dan dibentuk
sedemikian rupa sehingga benar-benar merupakan Peo yang sesungguhnya.
Pogo Pu’u
Kayu Peo yang sudah ada itu kemudian dibersihkan untuk
diukir. Pogo Pu’u artinya memotong
pangkal kayu bakal Peo yang baru saja dibawa dari hutan itu agar kelihatan
rapi. Inilah kegiatan awal ketika kayu masuk kampung. Menurut keyakinan
masyarakat setempat “pogo pu’u” ini
merupakan acara pembersian diri untuk memulai suatu kegiatan baru. Acara ini
cukup meriah, dengan diiringi tarian.
Setelah itu dilanjutkan dengan upacara “Keo Podo”, artinya mengukir periuk.
Kegiatan ini merupakan awal dimulainya kegiatan mengukir batang kayu Peo yang
telah dibersihkan itu. “Podo” atau
periuk adalah ukiran paling bawah pada Peo. Acara yang menegangkan ini, membuat
suasana kampung bagaikan tanpa penghuni. Semua orang dilarang bersuara selama
beberapa menit, sejak ketua adat memberikan aba-aba untuk mulai mengukir periuk
ini. Biasanya ibu-ibu dan anak-anak melarikan diri ke luar kampung untuk
beberapa saat. Inilah saat untuk mengenang kembali kebaikan dan perlindungan
para leluhur. Mereka yang “ Reke Ne‘e Ta
Au Tana Wea Watu, Pepe Ria Sagho Molo, Tii Kita Peni Moo Bi, Wesi Moo Kappa,
Tatau Olo Muri Kita Pawe”, artinya semoga mereka yang telah mendahului
kita, yang kini ada di dunia seberang, senantiasa memberi kita keberhasilan
dalam setiap usaha, dalam bertani dan berternak.
Setelah upacara “Pogo
Pu’u” ini, dilanjutkan dengan kegiatan “Liku
Peo”. Liku Peo atau mengukir Peo
ini dilakukan oleh utusan dari keempat suku besar yang ada dan kegiatan ini
biasanya selama 14 (empat belas) hari. Bunyian gong gendang dan tari-tarian
oleh warga setempat terus mengiringi kegiatan ini hingga selesai. Makan minum
adat dilaksanakan setiap hari dengan tanggungan bergilir oleh setiap “ngapi” atau suku. Kegiatan ini dimulai
pagi hari dengan diawali doa oleh ketua adat kepada para leluhur dan ditutup
pada malam hari dengan tarian adat oleh warga suku. Setelah selesai mengukir,
para ketua suku dan ketua adat berembuk
untuk kegiatan berikut.
“Pebha” (Pengesahan)
Acara
ini berlangsung sangat meriah dan terbagi dalam beberapa tahap sebagai berikut
ini:
a. “ Kedhu Taa Mewu, Pusi Taa Muri”
Upacara ini adalah upacara pencabutan Peo lama dan
penanaman Peo baru. Peo yang telah selesai diukir, disiapkan untuk ditanam pada
tempat yang telah ditentukan. Empat orang ketua suku bersama “ana susu” (Pembantu atau pelayan ketua
suku) turun dari rumah adat dan melaksanakan kegiatannya dengan diawali “bhea” atau doa berbentuk puisi. Dalam “bhea’ ini, para ketua suku menyusun
kembali silsilah keturunannya dan sekaligus memohon doa restu para leluhur agar upacara ini dapat berjalan lancar dan terhindar dari segala marah bahaya. Para penari dan pengusung siap melaksanakan tugas untuk
mengantar Peo yang telah jadi itu dari hilir kampung. Setelah “bhea”, ketua adat melaksanakan ”toka koe”, yakni upacara penggalian Peo oleh
semua orang yang hadir, sekaligus bersama-sama mencabut Peo lama itu. Upacara
pencabutan Peo lama inilah yang dimanakan “Kedhu
Taa Mewu”.
Sekedar untuk diketahui, sebelum diadakan upacara
pembuatan Peo, Peo lama biasanya telah ditawarkan oleh pembeli. Dan Peo lama
ini biasanya langsung dibeli orang. Oleh karena itu, Peo lama biasanya langsung
diusung keluar kampung dan diterima oleh pembeli dan segera dibawa. Hal ini
tidak berarti bahwa warga suku tidak menghargai Peo lama tersebut.
Setelah Peo lama dicabut, ketua adat dan para ketua suku
menjemput Peo baru yang telah siap diusung. Peo baru kemudian diarak menuju
tempat penanaman. Upacara ini diiringi dengan gong gendang dan tarian serta
bunyi-bunyian lainnya seperti meriam bambu dan pekik sorak semua orang yang
hadir. Setelah tiba di sana ,
Peo baru langsung ditanam. Upacara inilah yang sangat dinanti-nantikan oleh
semua orang yang hadir. Peo ditanam pada tempatnya. Inilah yang namanya “ Pusi Taa Muri”.
b. Koe
Laka atau Bheto (Penanaman bambu)
Tahap dimana orang mulai menanam bambu di sekitar Peo.
Bambu-bambu itu ditanam sedemikian rupa, dan diikat, yang nantinya berfungsi
untuk upacara “ Pebha Kaba”. Upacara
ini sangat singkat, karena bambu-bambu yang dibutuhkan, telah tersedia di dekat
Peo sebelum Peo baru ditanam. Setelah bambu-bambu tersebut ditanam, langsuang
dilanjutkan dengan acara “Pebha Kaba”.
c. “Pebha
Kaba”
Upacara ini diadakan untuk mengesahkan Peo baru dengan
darah kerbau. Pada zaman dahulu biasanya kerbau disiapkan puluhan ekor
tergantung dari kesanggupan semua anggota suku dari keempat suku besar
tersebut. Tapi sekarang telah disederhanakan atau diperhemat, cuma satu atau
dua ekor kerbau saja yang disembelih.
Uapacara ini berlangsung sangat meriah. Biasanya disaksikan
oleh banyak orang yang datang dari berbagai penjuru, bahkan turis manca negara
dan para pejabat pemerintah. Upacara ini berlangsung dari pagi hingga pagi
berikutnya.
Kerbau yang telah dihias dengan janur diikat dari hilir
kampung sebelum diarak masuk menuju Peo baru. Janur diikat pada tanduk dan leher
serta di ekor untuk menunjukkan kemeriahan, kemegahan, keagungan. Setelah
semuanya telah siap, ketua adat bersama salah satu ketua suku melaksanakan
upacara “ Gaka Kaba”. Gaka kaba ini semacam pantun untuk
mempermalukan atau mencemooh kerbau yang hendak dikorbankan.
Setelah itu kerbau itu diiringkan masuk ke dalam kampung
dengan cambukan dan rotan. Saat yang menegangkan, karena biasanya kerbau
menjadi buas dan langsung diikat pada “laka
atau bheto” yang baru ditanam dan talinya diikat pada Peo baru. Gong
gendang dan tarian serta teriakan-teriakan mengiringi upacara ini. Setelah
kerbau diikat, dilanjutkan dengan upacara “pala
manu”(Penyembelian ayam) dan “moni kaba”(Nonton
kerbau). Upacara ini biasa diistilahkan dengan sebutan “ pebha pala” atau “ Pebha kaba,
pala manu”. Kerbau diikat pada Peo di tengah kampung, sedangkan ayam diikat
pada Peo simbolis yang dibuat di tungku api di rumah besar atau rumah para
ketua suku.
d. “Pala Manu” (Penyembelian ayam)
Upacara “Pala Manu”
ini dibuat di rumah para ketua suku. Upacara ini dibuat untuk “ Kago Weki” atau “ Kago Mae”, artinya memohon perlindungan dari para leluhur bagi
keselamatan jiwa dan badan semua anggota suku dan juga agar mereka hidup
sejahtera secara jasmani maupun rohani. Upacara ini dibuat secara bergilir di
setiap rumah para kepala suku.
Ketua adat dan “ana
susu” (Pembantu atau pelayan ketua suku) dengan mengenakan busana adat
lengkap, mulai berkeliling dari rumah kepala suku yang satu ke rumah kepala
suku yang lain. Sementara itu para ketua suku dan anggotanya telah menunggu
sambil mempersiapkan segala keperluan untuk upacara ini. Setelah ketua adat
tiba, upacara pun segera dimulai dengan “bhea”
oleh ketua suku. “ Bhea” adalah
pendasaran doa dan pemaklumatan silsilah dari suku tersebut dengan gerakan
tarian adat. Setelah “bhea”
dilaksanakan “kokoro” oleh ketua adat
dan salah seorang ketua suku yang dipercayakan. “Kokoro” adalah suatu bentuk nasehat kepada seluruh anggota suku dan
doa mohon berkat dari para leluhur.
Setelah semuanya dilaksanakan, ayam yang disediakan,
diarakan oleh salah satu anak dari dalam suku tersebut mengelilingi tungku api
sebanyak 7 (tujuh) kali, yang berarti keturunan akan berkembang, tak
terputuskan. Kemudian ayam diikat pada Peo kecil yang ditanam pada tungku api,
lalu disembelih dan berakhirlah upacara “Pala
Manu” tersebut. Sementara “Pala Manu”
(Penyembelian ayam), orang mulai berdatangan dari segala tempat untuk
memeriahkan upacara pada malam itu, yakni “Moni
Kaba” atau menonton kerbau yang telah diikat pada Peo yang baru saja ditanam.
e. “Moni
Kaba” (Nonton Kerbau)
Pada malam yang paling meriah ini, tarian-tarian adat
dipersembahkan oleh masing-masing kelompok suku, baik dari dalam kampung itu
sendiri maupun dari daerah-daerah sekitar dan bahkan daerah-daerah yang jauh.
Di sepanjang perkampungan, penuh dengan penonton dan penari. Masyarakat suku
adat mempunyai kewajiban untuk memberi makan kepada semua orang yang datang.
Moke arak yang merupakan minuman khas masyarakat adat ini, senantiasa disiapkan
dan disuguhkan kepada siapa saja yang datang. Di rumah-rumah disiapkan tempayan
untuk menampung minuman ini, yang dibawa oleh orang-orang yang memiliki
kepedulian terhadap tuan pesta. Ketupat dan daging yang disiapkan,
dibagi-bagikan kepada semua orang yang hadir untuk sama-sama makan.
Malam “moni kaba”(Nonton
kerbau) ini memang sesungguhnya menyenangkan dan menggembirakan. Makan, minum
dan tarian terus berlanjut hingga pagi hari. Dan upacara ini biasanya
dihadiri oleh ribuan orang. Upacara ini
disambung dengan upacara berikutnya, yakni “pegho
kaba atau rore kaba”.
f. “ Pegho
Kaba” (Penyembelihan Kerbau).
Kerbau-kerbau yang diikat pada Peo, disembelih satu
persatu. Upacara ini dilakukan oleh ketua adat. Ketua adat menyembelihkannya
secara simbolis dengan menggunakan “ topo
seki dewa” atau parang adat dan segera sesudah itu disembelih oleh salah
seorang yang telah ditunjuk oleh ketua adat.
Daging kerbau dimasak secara adat dan dibagi-bagikan
kepada semua orang yang hadir dan dimakan secara bersama-sama, yang
diistilahkan dengan “ nalo mere”.
Daging dan nasi yang sama juga dibagi-bagikan ke rumah-rumah dalam kampung adat
dan suku-suku serta kampung-kampung tetangga. Hal ini mau menunjukkan bahwa
masyarakat setempat juga sangat peduli dengan sesama dan sekitarnya. Dan
sekaligus juga mau mengatakan bahwa pesta itu merupakan pesta persaudaraan.
Tahap Akhir
“ Waju
Mere” (tumbuk padi secara bersama-sama oleh beberapa orang).
Upacara
ini dilaksanakan di tengah kampung di depan rumah adat, yang disebut ”teda”. Padi dari keempat suku disatukan
dalam satu lesung, lalu ditumbuk beramai-ramai oleh istri-istri para ketua suku
dan anggota suku yang dipercayakan. Ini membuktikan kekompakan dan
kegotongroyongan. Padi yang ditumbuk menjadi beras itu kemudian dimasak untuk
makan secara adat. Tapi sebelumnya dibuat upacara pemberian makan kepada para
leluhur dari hasil masakan tersebut oleh ketua adat. Upacara ini disebut “ Ka Pie”, artinya makan pemali, yang
dilaksanakan di dalam halaman rumah adat atau “teda” tadi.
“Woku
Ulu Kaba” (Mengarak Kepala Kerbau)
Kepala kerbau yang baru disembelih, diletakkan dekat Peo.
Sebagai rasa syukur dan terima kasih mereka dan sebagai ungkapan kegembiraan,
mereka mengarak kepala kerbau tersebut keliling kampung sebanyak 4 (empat)
kali, yang diiringi tarian dan teriakan-teriakan. Semua yang mengikuti prosesi
ini, wajib siap menerima siraman air dari penonton. Bertolak dari keyakinan
bahwa airlah yang menghidupkan segalanya. Upacara inilah yang menyegarkan dan
membersihkan segala ketidakberesan selama upacara adat ini berlangsung sejak
awal. Tawa dan canda ria mewarnai upacara “Woku
Ulu Kaba” ini. Karena merasa bahwa segala usaha dan kerja sama mereka untuk
menyukseskan upacara adat ini telah selesai.
“ Pusi Ulu Kaba One tEda” memasukkan
kepala kerbau ke dalam “teda” atau rumah
adat.
Upacara ini biasanya di buat 2 (dua) atau 3 (tiga) bulan
setelah upacara “Pegho Kaba”(Penyembelian
Kerbau). Hal ini dimaksudkan agar kepala kerbau yang hendak dimasukkan ke dalam
rumah adat itu, telah kering sehingga tidak menyebabkan bau yang kurang sedap.
Setelah kepala-kepala kerbau itu kering, dimasukkan ke dalam rumah adat.
Upacara ini biasanya dilaksanakan oleh keempat suku yang ada yang diakhiri
dengan makan-minum bersama. Dengan berakhirnya upacara “ Pusi Ulu Kaba” ini, maka berakhirlah seluruh rangkaian upacara “ Pebha Pala” untuk mengesahkan Peo,
Sekedar untuk diketahui bahwa Peo lama, biasanya dijual
kepada orang yang membutuhkan. Hasil dari penjualan itu dipergunakan untuk
melunasi utang yang terjadi atau tercipta selama upacara pembuatan Peo ini
berlangsung. Dan biasanya, hasil penjualan itu tidak menjadi monopoli suatu
suku atau satu orang saja. Karena bila hal ini terjadi, maka akan terjadi
hal-hal yang tidak diinginkan. Misalnya orang tersebut atau anggota suku
tersebut akan meninggal dunia satu persatu. Oleh karena itu, hasil penjualan
Peo lama biasanya digunakan untuk kepentingan upacara adat atau demi kebaikan
semua anggota suku dari keempat suku yang mendewakannya dan bernaung di bawahnya.
Upacara pembuatan Peo sebenarnya suatu upacara
serimonial adat untuk mengenang jasa-jasa para leluhur. Sehingga dalam doa dan
“bhea”, masih terdengar pengakuan
adanya “ dewa Reta, ggae Rale”,
artinya Tuhan yang di atas dan leluhur yang di bawah, di “Nabe”.
TATA CARA DAN SEMUANYA MENGENAI PEMBUATAN DAN MAKNA PEO BAGI ORANG NAGEKEO SEPENUHNYA SECARA LENGKAP ADA DALAM BLOG INI, HANYA SENGAJA SAYA BAGI PERKELOMPOK AGAR TIDAK TERLALU PANJANG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar