Satu senja pernah kita habiskan dengan diam dihadapan dua cangkir kopi yang semakin mendingin.
dua cangkir beraromakan kepahitan yg terbang menggiring kata bosan yang keluar dari bibirmu, seperti sianida yang melumpuhkan segala seraf dikepalaku..
Hening membatu, tanpa satu pun suara yang berniat melenturkan lidah kita Untuk mengelabuhi kecewa.
di atas secangkir kopi aku melukis setangkai mawar dengan cream.. Kuletakkan tepat di sebelah kopi wangi melati yang kau pesan dengan hati benci dan segala yang menyakiti.
Sore ini, sekeping kegagalan telah tersaji pekat di atas meja pertengkaran. Dimasak di sebuah dapur yang menyeruakkan wangi bunga-bunga setelah kau mengenal dia.
Sepertinya kita butuh senja lain untuk mengumpulkan percakapan.
Satu sore saja, aku rasa tak akan cukup untuk menampung perbincangan kita yang semakin tajam dan mulai gemar saling melukai.
Aku menyadari bahwa kita hanyalah sepasang permohonan yang tak pernah selesai di hadapan doa.
Sebelum kau dan aku benar-benar paham, pertemuan adalah perintah takdir untuk kita berpelukan, lalu saling tabah melepaskan.
Kelak, silam juga akan mengajak kita untuk saling memunggungi. Tanpa perlu mengingat lagi, kedua dada kita pernah saling berjanji untuk mengingat sehidup hingga mati.
Ternyata benar apa yang dulu pernah aku takutkan, terutama perihal mencintai, melepaskan memang butuh rasa sakit yang lebih.
Berbahagialah, rebahkan kekagumanmu di dadanya. Jangan lupa satu hal; datanglah kembali ke sini, jika kau butuh sesuatu yang bisa kau lukai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar