Sudah akhir bulan Ramadhan berlalu dan belum kutemui wajah manismu mengendap di cangkir kopiku. Tidak ada kemungkinan yang bisa kutakar dari kenangan. Hari berlalu sebagai kesibukan yang menyublim bersama udara untuk menyatu bersama namamu yang masih kuhirup dari masa lalu. Berputar namun tak bergerak. Kau masih menjadi poros dari setiap langkahku yang mulai terbiasa menempuh perjalanan tanpa haluan. Sampai di suatu senja aku teringat es kopi yang diikat karet merah muda sebagai menumu buka puasa, dengan cinta yang kita nikmati dari sedotan yang sama...
Kopi malam ini, pahit yang selalu menemani.
Kubiarkan diriku memaku di hadapan jendela, menatap pola kopi yang tertinggal di bibir gelas, sembari mendoakan tanya dalam pilu.
Apa kabar, kamu?
Di antara lampu kendaraan yang melintas dari balik jendela, aku teringat lingkar tangan kirimu yang memeluk pinggangku pada saat mencari tempat yg pas untukmu berbuka. Tangan kananmu bergerak bebas. Mencubit lenganku, memukul pelan kepalaku dari belakang, juga menunjuk ke sudut-sudut jalan sambil kita berdebat kemana kita akan berhenti. Jujur, bersamamu yang kuinginkan hanyalah melaju. Kemana saja, asal telinga dan mataku berhias senyum dan tawamu. Lalu rengekanmu membuyarkan lamunan dan aku memutuskan untuk menemanimu berbuka di pinggir jalan, sembari menghitung daun-daun gugur dan menikmati kepak sayap burung menghias surya yang tenggelam. Apakah takjil favoritmu masih sama? es buah tanpa irisan roti? Yang dulu pernah kita nikmati, yang kini aku kenang sendiri...
Malam pun kembali menyembunyikan bintang, menandai kau sebagai pusat terang. Menyala di hatiku, hangat, mencairkan rindu yang lama membeku. Mengulang semua cerewetmu sehabis berbuka di kedai kopi kita berbagi bahagia. Membahas gula yang kurang disetiap cangkir kopiku, atau antrian di tukang es yang lebih panjang dari oktaf suaramu. Kau masih menyanyi, kan? Jangan berhenti, ya. Aku suka mendengar sayup nyanyianmu yang membuatku tetap terjaga saat kita membelah bising jalanan.
Kemudian kau kembali mencubit lenganku berulang kali, memencet hidungku, dan menatap tajam kedua mataku untuk menyampaikan pesan jangan lagi terlambat menjemputmu saat sahur. Aku cuma bisa tertawa menanggapi ketusmu itu, lucu. Entahlah, aku selalu suka melihatmu cemberut. Kau jadi lebih lepas bercerita tentang banyak hal, diselipi tawa yang memenuhi ruangan, kau adalah ratu yang setiap tingkah lakunya selalu kuterima menetap di singgasana. Sebelum akhirnya aku tersadar pipimu yang menggembung saat cemberut itu kini sudah mendarat di telapak tangan yang baru.
"Di sini, kembali,
kau hadirkan ingatan
yang seharusnya kulupakan,
dan kuhancurkan adanya..."
Bersama secangkir kopi aku menulis kisah ini sebagai ucapan selamat atas rencana pernikahanmu yang tinggal menghitung hari. Terima kasih sudah memberiku ingatan Ramadhan terbaik di masa muda, dan semoga di peluknya kelak kau tetap bisa berbagi kisah. Karena cerewetmu itu yang membuatku betah menikmati waktu.
Semoga kekasihmu mampu memilihkan kopi yang tepat untuk menjadi minuman favoritnya, sebab rasa kopiku yang kau seguhkan, lebih pahit dari empedu.
"Selamat jalan kekasihku, selamat Datang diingatanku"